Page 39 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 39
Mochammad Tauchid
Dalam selubung perbudakan ini terselip juga proses
“demokrasi” yang ditunjukkan dengan adanya cara bermufakat
di balairung, di mana raja membicarakan urusan pemerin-
tahan dengan pegawai-pegawainya. Ketika raja menyampaikan
kata-katanya, maka perintah tersebut harus dipertimbangkan
lebih dulu. Tetapi dalam praktiknya, rakyat harus mengiakan
kemauan raja. Rakyat dalam musyawarah selalu menghasilkan
suara bulat, dengan istilah “saur manuk” (menjawab serentak
seperti burung). Tidak ada tempat ber-ia dan ber-bukan. Apa
yang dikatakan putih mesti di-iakan putih.
Kewajiban menyerahkan bakti oleh pegawai-pegawai
kepada raja biasanya kewajiban tersebut ditimpakan kepada
rakyat. Hal itu terjadi karena pegawai-pegawai ingin mengu-
rangi beban berat yang ditimpakan oleh pegawai atasannya,
maka banyak terjadi pegawai-pegawai yang paling rendah yang
seharusnya mengurus tanah lalu membagikan tanah tersebut
kepada orang lain untuk digarap. Hal ini dilakukan untuk mem-
peringan tanggunganya kepada atasannya. Untuk menambah
orang memikul beban kepada raja itu, maka terpaksa bagian
garapan tanah diperkecil, untuk memberikan bagian itu kepa-
da orang yang baru. Dan hal ini berakibat pengecilan (versnip-
pering) tanah garapan rakyat.
Pemerasan dan penindasan biasa dijalankan oleh pegawai-
pegawai raja dari yang paling atas sampai yang paling bawah,
mereka biasanya berdalih atas nama raja. Tidak jarang mereka
berbuat sewenang-wenang dan meraja lela, sebagaimana ke-
biasaan di mana tiada elang, belalang mengaku sebagai elang.
Kewajiban rakyat untuk para pegawai raja sangatlah berat.
Itulah sebabnya maka di beberapa tempat umumnya hak
milik tanah hanya ada pada orang laki-laki, karena dasarnya
18