Page 57 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 57
Mochammad Tauchid
situ dan belum mendapat izin dari tuan tanah. Sebelum itu
tuan tanah dapat mengusir penduduk dengan semaunya.
Tanah partikelir itu merupakan negara dalam negara. Di
dalamnya merupakan pemerintahan perbudakan, penuh
dengan tindakan sewenang-sewenang, penindasan dan peme-
rasan. Rakyat tidak mendapat hak apa-apa, hanya beban yang
berupa pajak, cukai, kontingen, rodi, dan seribu satu macam
beban lainnya yang bertumpuk-tumpuk di atas pundaknya.
Kepentingan dan nasib penduduk sama sekali tidak diperha-
tikan. Pengambilan cukai dijalankan dengan keras oleh pega-
wai-pegawai yang curang dan korup, dengan diberi hak leluasa
untuk bertindak mengutip pajak. Korupsi menjadi kebiasaan
dijalankan oleh pegawai-pegawai, rakyat yang menjadi sasa-
rannya. Menjadi kebiasaan petani waktu itu untuk mencuri
padinya sendiri di sawahnya, sekedar untuk meringankan be-
ban cukai. Mengenai hal ini, tuan tanah dengan kaki tangannya
tidak kalah cerdik, mereka selalu mendapat akal untuk menin-
das para petani.
Karena keadaan semacam itu, rakyat sangat miskin, seng-
sara dan menjadi kebiasaan kemudian melakukan perampokan
dan pembunuhan karena dorongan untuk membela diri dan
kelaparan dari siksaan yang semena-mena.
Terdesak oleh keadaan yang buruk, maka terpaksalah pe-
merintah mulai membeli kembali tanah-tanah partikelir, yang
dimulai pada tahun 1910 dengan undang-undang 7 Nopember
1910 no. 18 dan firman Raja 12 Agustus 1912 no. 54 (Stbl.
1912 no. 480). Sejak tahun 1829 sudah dikatakan tidak lagi
akan ada penjualan tanah kepada orang partikelir lagi. Pada
tahun 1854 dalam Regerings Reglement dengan terang dinya-
takan larangan menjual tanah partikelir. Dengan berangsur-
36