Page 61 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 61
Mochammad Tauchid
Jakarta dan luar Jawa. Pertama kali diberikan kepada mereka
sebagai tanah pinjaman yang kemudian diberikan sebagai
milik perseorangan sebagai pusaka yang tidak boleh dibagi
(onver celde boedel). Setelah beberapa pesero (tuan tanah)
menjual haknya (bagiannya) dan kemudian meminta peme-
cahan serta hak pungutan kepada orang-orang yang mendu-
dukinya, maka timbullah kesulitan-kesulitan dan perten-
tangan antara pesero dengan pesero lainnya dan antara pesero
dengan pihak penduduk. Hal ini juga terjadi di Semarang,
Surabaya, dan daerah-daerah lainnya. Stbl. 1836 no. 19 ku-
rang jelas memberikan ketentuan-ketentuan dan tidak dapat
berjalan, karena banyak soal-soal yang menimbulkan perse-
lisihan dan sengketa.
Karena hal itu, maka dengan ketetapan Pemerintah (Gou-
vernements Besluit) 24 Juli 1390 no. 5, Pemerintah Hindia
Belanda membentuk satu Panitia untuk meninjau kembali Stbl.
1836 no. 19 itu. Pada tahun 1902 (jadi sesudah 12 tahun la-
manya), komisi memberikan laporannya yang terutama
sebagai hasil pekerjaannya J. Faes dan dengan G.B. 28 Agustus
1902 panitia tersebut dibubarkan. Pertimbangan panitia
sangat berat sebelah dan hanya memperhatikan kepentingan
tuan tanah dengan mengorbankan kepentingan penduduk di
situ. Hasil Panitia tidak dapat begitu saja diterima. Karena
Reglement 1836 harus segera ditinjau dan diubah, maka peme-
rintah (Direktur Departement v. Binnenlandsch Bestuur)
mengajukan rancangan Reglement baru yang diserahkan kepa-
da satu panitia untuk mempelajari, yang kemudian dinamakan
Juristen Commissie. Komisi ini dibentuk pada tanggal 11
Agustus 1906 no. 18, yang terdiri dari beberapa orang Jurist
anggota Mahkamah Agung (Hoogerrechtshof) serta orang dari
40