Page 229 - Hak Atas Tanah bagi Orang Asing
P. 229

206   FX. Sumarja


            yang luas dan terkait masalah lingkungan. Dampaknya, bahwa tanah
            untuk sebesar-besar  kemakmuran  rakyat semakin  jauh  panggang
            dari api. Apalagi diizinkannya badan hukum Indonesia yang 100%
            modalnya asing untuk mendapatkan HGU dan HGB. Bukankah ini
            secara riil sudah pemilikan tanah oleh orang asing, meskipun bukan
            hak milik.
                Padahal jauh sebelum lahirnya UUPA, Hatta telah mengingatkan

            dalam pidatonya pada tahun 1946. Menurut Hatta pada prinsipnya  tanah
            harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi untuk kemakmuran
            bersama,  bukan untuk  kepentingan  orang perorangan,  yang pada
            akhirnya dapat mendorong  terjadinya akumulasi penguasaan tanah
            pada segelintir/ kelompok masyarakat. Akumulasi penguasaan tanah
            tersebut dapat  menindas  kelompok  masyarakat  lainnya.  Dikatakan
            oleh Hatta bahwa tidak boleh seorang pun menjadikan tanah sebagai

            alat untuk menindas kelompok  masyarakat yang  lainnya,  karena
            hal    tersebut  bertentangan dengan dasar  perekonomian  yang adil
            sebagaimana  dicita-citakan  rakyat  Indonesia.
                Lebih lanjut dikatakan oleh Hatta bahwa pada dasarnya tanah
            adalah milik rakyat Indonesia. Negara yang merupakan penjelmaan
            dari rakyat hanya mempunyai  hak mengatur penggunaannya agar

            dapat mengejar kemakmuran bersama. Demikian pula dengan tanah
            perkebunan  yang sebenarnya  milik  rakyat, seharusnya    dikuasai
            oleh rakyat melalui bentuk  koperasi, tidak dikuasai oleh seorang
            pengusaha  perkebunan. 67

                Berdasarkan uraian di atas dapat diibaratkan bahwa sumberdaya
            agraria terutama tanah  milik  Bangsa  Indonesia telah  dijadikan
            “objek pesta” dan eksploitasi asing. Sebagian kecil rakyat Indonesia
            menjadi  koki dan pelayannya. Kalaupun mereka ikut pesta hanya
            sekedar menggantikan  tuannya  yang  tidak bisa hadir  atau hanya


            67  Endang Suhendar & Ifdhal Kasim,  Tanah  Sebagai Komoditas..., Op.
                Cit., hlm.18.
   224   225   226   227   228   229   230   231   232   233   234