Page 41 - REFORMA AGRARIA EKOLOGIS
P. 41
menambahkan nomenklatur dalam Reforma Agraria: pengelolaan
sumber daya alam ramah lingkungan (Pasal 3), desentralisasi
kewenangan pengelolaan sumber daya alam/agraria (Pasal 4)
dan penyelesaian konflik agraria (Pasal 5). Kepres No 34 Tahun
2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan juga
diterbitkan di era ini.
Meskipun payung hukum sudah kuat, Reforma Agraria tidak
dijalankan oleh Pemerintah dan DPR, tiga amanat pokok TAP MPR
RI No IX Tahun 2001 tidak dilaksanakan, yaitu: (a) Melaksanakan
Pembaruan Agraria atau menata P4T (Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan, Pemanfaatan Tanah) dengan program Landreform;
(b) Menyelesaikan konflik agraria dan SDA; (c) Melakukan
sinkronisasi dan kaji ulang terhadap peraturan perundangan SDA
antarsektor.
5. Reforma Agraria era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Salim dan Utami (2019) mencatat bahwa pelaksanaan Reforma
Agraria di era ini dimotori oleh Kepala BPN (Joyo Winoto)
tanpa dukungan berarti dari Pemerintah, sehingga Kepala BPN
menghimpun dukungan dari unsur masyarakat antara lain
akademisi, aktivis-sarjana, dan LSM (Rachman 2017) untuk
mempromosikan Reforma Agraria. PPAN yang mendorong
redistribusi tanah dari kawasan hutan, HGU, tanah terlantar, dan
tanah bekas hak menjadi ikon dari upaya Reforma Agraria di era
ini, namun gagal karena beberapa kendala, antara lain:
1. Ketiadaan perangkat hukum untuk menjalankan PPAN
akibat Rancangan Perpres usulannya tidak berlanjut menjadi
Perpres.
2. Ketiadaan dasar hukum membentuk kelembagaan Reforma
Agraria
3. Penetapan hukum atas status tanah terlantar oleh BPN kalah
di pengadilan, hanya di Batang yang berhasil dimenangkan
BPN, mayoritas gugatan BPN kalah.
4. Ketidakmampuan Presiden mengendalikan kementerian
lain yang kepentingannya terdampak Reforma Agraria,
26 REFORMA AGRARIA EKOLOGIS:
Praktik Penataan Akses Ramah Lingkungan di Desa Panjangrejo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul