Page 38 - REFORMA AGRARIA EKOLOGIS
P. 38
UUPA diabaikan, (b) Revolusi Hijau dengan argumentasi bahwa
kecukupan pangan dapat dicapai melalui modernisasi pertanian
tanpa perlu redistribusi tanah sebagai alat produksi dan (c)
Transmigrasi dengan argumentasi bahwa di luar Jawa masih
terdapat tanah “tak bertuan” yang luas, sehingga pemindahan
penduduk Jawa ke luar Jawa serta merta merupakan wujud lain
redistribusi lahan (Wiradi 2009).
Revolusi Hijau meningkatkan produksi pangan dengan ukuran
jumlah panen padi melimpah hingga pertengahan dekade 1980an,
setelah periode itu berbagai dampak negatif mulai muncul antara
lain (Antoro 2013 dan Purwati 2023 dalam Antoro 2023):
1) Pelandaian (leveling off) produktivitas padi karena daya
dukung lingkungan hidup menurun akibat akumulasi bahan
aktif pestisida dan senyawa pengikat hara pupuk sintetik
dalam tanah. Sumber nutrisi tanaman hanya berasal dari
pupuk sintetik, karena kesuburan tanah menurun.
2) Ketergantungan petani terhadap benih unggul meningkat,
padahal benih unggul rakus hara dan air, hanya dapat sekali
tanam untuk produksi yang konstan dengan syarat input
hara, air, dan pestisida tinggi.
3) Petani kehilangan daya untuk mengambil keputusan atas
usaha taninya karena mengambil keputusan di luar Revolusi
Hijau membawa risiko dijadikan musuh ideologi oleh Negara.
Seiring dengan itu penyingkiran terhadap perempuan
semakin massif, ditandai dengan mekanisasi pertanian
yang secara budaya “hanya dapat” dikerjakan oleh laki-laki,
misalnya traktor, thresser, dan paddy harvester machine.
4) Petani kehilangan pengetahuannya tentang pertanian
karena dikondisikan tergantung pada produk pabrikan yang
instan, seiring dengan sirnanya pengetahuan petani tentang
perbenihan dan pemuliaan tanaman, hilang pula plasma
nutfah/sumberdaya genetik yang menjadi sumber pangan
dan bahan baku varietas unggul.
5) Petani terjerat kemiskinan karena pertanian perdesaan
dijadikan pondasi ekonomi perkotaan (utamanya
BAB II 23
Reforma Agraria Ekologis: Upaya Mempertemukan Keadilan Sosial dan Lingkungan