Page 39 - REFORMA AGRARIA EKOLOGIS
P. 39
pengendalian upah agar rendah dengan cara pangan murah),
namun pondasi itu semakin dirapuhkan, ditandai dengan
semakin menurunnya nilai tukar petani seiring waktu (harga
1 kg beras tidak lagi setara dengan 1 kg urea, gabah murah
sedangkan pupuk sintetik semakin sulit terbeli). Akhirnya,
petani memilih hutang agar tetap berproduksi dan akhirnya
melepas lahannya karena bertani adalah pilihan merugi.
Transmigrasi tampak sebagai program pemenuhan
kebutuhan dasar petani akan tanah, dengan argumentasi
land and citizenship rights (tanah dan hak-hak kewargaan)
karena ketersediaan lahan di Jawa tidak dapat mengimbangi
kepadatan penduduknya (Salim dan Utami 2019). Namun,
seiring menguatnya kesadaran pascakolonial, praktik
transmigrasi justru menimbukan konflik karena (Pujiriyani
2023 dalam Antoro 2023):
1) Transmigrasi memindahkan sistem politik, ekonomi
(agroekosistem, khususnya pola sawah atau pertanian
menetap lainnya), sosial, dan budaya untuk
merepresentasikan negara yang sangat dipengaruhi
Jawa di daerah-daerah terpencil luar Jawa yang belum
tersentuh kekuasaan pusat (homogenisasi spasial).
2) Transmigrasi merupakan instrumen birokrasi untuk
menyeragamkan berbagai kelompok yang berbeda
secara kultural daripada menghormati keragaman dan
hak-hak agraria masyarakat luar Jawa.
3) Transmigrasi merupakan alat kontrol terhadap wilayah
dan kelompok sosial (transmigran dan lokal/setempat)
dengan struktur birokrasi yang top down, militeristik,
dan ekspansif (utamanya terkait agenda penyebaran
industrialisasi yang dilayani melalui Reforma Agraria ala
Orde Baru)
4) Transmigrasi merupakan Jawanisasi, dalam arti perluasan
hegemoni Jawa ke seluruh kepulauan Indonesia untuk
membentuk imajinasi kemajuan ala Jawa—yang
24 REFORMA AGRARIA EKOLOGIS:
Praktik Penataan Akses Ramah Lingkungan di Desa Panjangrejo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul