Page 330 - Prosiding Agraria
P. 330
Analisis Perubahan Penggunaan dan Kesesuaian Lahan Perkebunan 315
terhadap Kemampuan Lahan Tanah HGU di Kabupaten Tanah Laut
A. Pendahuluan
Aspek ekologi berkelanjutan penting untuk menjadi faktor pertimbangan dalam
penerbitan izin HGU mengingat terbatasnya sumberdaya lahan. Dengan terbatasnya lahan
mineral yang produktif di Provinsi Kalimantan Selatan, serta anggapan bahwa gambut adalah
lahan yang tidak berguna sehingga harus dibudidayakan dan dikeringkan agar bisa produktif,
menjadi penyebab degradasi lahan gambut yang memicu terjadinya kondisi irreversible
drying. Hal ini tidak sejalan dengan visi Indonesia yang memiliki Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan/TPB (atau Sustainable Development Goals/SDGs). Beriringan dengan TPB,
konsep Pembangunan Rendah Karbon (PRK) menjadi konsep pembangunan berkelanjutan
yang penting karena memberikan pandangan ke depan tentang pentingnya keseimbangan
pembangunan ekonomi nasional, sosial, dan ekologi yang tidak saling memberikan dampak
negatif, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), serta meningkatkan pembangunan
berketahanan iklim (Kementerian PPN/Bappenas, 2022).
Salah satu bentuk degradasi lingkungan dalam pemanfaatan HGU di Provinsi Kalimantan
Selatan berupa perubahan pesat di kawasan konservasi gambut telah menarik perhatian para
pemerhati lingkungan karena lahan gambut menimbulkan emisi CO dalam jumlah besar
2
akibat pembukaan hutan gambut dan pengeringan lahan gambut, yang salah satunya terjadi di
Kabupaten Tanah Laut. Terdapat peluang kompensasi, terutama melalui Pengurangan Emisi
dari Deforestasi dan Degradasi+ (REDD+) jika karbon di lahan gambut dapat dilestarikan.
Lahan merupakan modal utama sebagai sumberdaya alam yang dikelola untuk memberikan
manfaat ekonomi dalam berbagai sektor. Kualitas lahan sangat mempengaruhi kualitas
lingkungan. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung fisik lahan sangat
berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sekitarnya dan ketidaktepatan pemanfaatan yang
pada akhirnya menyebabkan degradasi lahan. Lahan yang terdegradasi bersifat irreversible
karena butuh waktu yang lama untuk mengembalikannya menjadi lahan yang berkualitas.
Selain itu, perubahan tutupan lahan dari lahan berhutan merupakan proses yang kompleks
dengan tingkat pemulihan ekologi tertentu dan interaksi yang kuat dengan fluktuasi iklim
(Astiani et al., 2015). Kecenderungan perkembangan kawasan perkebunan yang berlangsung
ekspansif dan sprawl yang dipicu pertumbuhan ekonomi pada dasarnya mengarah pada
ketidak-berlanjutan lingkungan yang diindikasikan dengan penurunan daya dukung
lingkungan.
Perubahan pesat di kawasan hutan gambut telah menarik perhatian para pemerhati
lingkungan karena lahan gambut menimbulkan emisi CO dalam jumlah besar akibat
2
pembukaan hutan gambut dan pengeringan lahan gambut (Wahyunto; Supriatna, Wahyu;
Agus, 2010). Padahal Indonesia melalui ratifikasi Paris Agreement dengan Undang Undang
Nomor 16 Tahun 2016, berkomitmen pada pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan
penanganan perubahan iklim, menargetkan untuk membatasi pemanasan global di bawah
2°C. Kementerian ATR/BPN juga perlu mendorong kebijakan tata ruang yang mengatur
dengan jelas strategi efektif dalam pemanfaatan lahan sebagai upaya preventif degradasi