Page 68 - Prosiding Agraria
P. 68
Redistribusi Pemanfaatan Tanah Dengan Kolaborasi Pemberdayaan Petani 53
(Studi Kasus Penyelesaian Konflik di Kecamatan Keera Kabupaten Wajo)
C. Hasil and Pembahasan
1. Pelaksanaan Redistribusi pemanfaatan tanah di Kecamatan Keera
Tanah memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat karena berfungsi ganda
yaitu sebagai social asset dan capital asset, dimana social asset ialah tanah sebagai sarana
pengikat kesatuan sosial pada kalangan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, dan
capital asset ialah bahwa tanah sebagai benda ekonomi yang penting sekaligus menjadi objek
perniagaan dan spekulasi, pada satu sisi tanah wajib digunakan dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, (Earlene & Djaja, 2023). Tanah
juga mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam rangka penyelenggaraan hidup dan
kehidupan manusia. Di lain pihak, bagi negara dan pembangunan, tanah juga menjadi modal
dasar bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara dalam rangka integritas Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh karena kedudukannya yang demikian maka penguasaan, pemilikan, penggunaan
maupun pemanfaatan tanah memperoleh jaminan perlindungan hukum dari pemerintah,
(Salfutra & Agustian, 2019).
Sejarah menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan penguasaan
dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, baik sebelum maupun sesudah masa kemerdekaan,
masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan yang terkait dengan ketidakadilan
dalam mendapatkan hak atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Fakta
ketidakadilan agraria sering kali disebabkan oleh berbagai kebijakan politik penguasa pada
setiap fase pemerintahan. Kebijakan politik seringkal tidak memberikan kemudahan akses
bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber agraria, (Nugroho,
2018).
Gesekan-gesekan sering terjadi bukan hanya karena kurangnya kepastian hukum hak atas
tanah, tetapi juga karena ada pihak-pihak lain yang tidak berhak menguasai atau mengelola
tanah tersebut secara tiba-tiba atau tanpa ada legalisasi kepemilikan dari pihak yang
bersangkutan. Pihak-pihak lain tersebut yang tidak berhak untuk menguasai serta mengelola
tanah tersebut berasumsi bahwa tanah tersebut terlantar karena tidak pernah dirawat dan
dimanfaatkan oleh pemilik yang sah tanah tersebut. Asumsi para pihak yang tidak mendapat
hak menguasai atau mengelola tentang tanah terlantar tersebut kebanyakan melihat dari segi
fisik yang ada pada tanah tersebut yang keadaannya tidak terawat, tumbuh banyak ilalang,
serta tanaman-tanaman utama yang ada telah mati karena tidak terawat tanpa melihat dari
segi legalitas tanah tersebut, apakah sudah terbit surat keputusan (yuridis) tanah tersebut
atau tidak dari pihak yang berwenang, (Ramadhani, 2021).
Pola konflik/sengketa pertanahan di Indonesia sudah bergeser dari konflik secara
horizontal di masa orde lama menjadi konflik yang bersifat vertikal di masa orde baru, artinya
pada masa orde lama konflik pertanahan lebih didominasi antara rakyat dengan rakyat, akan
tetapi pada masa orde baru konflik/sengketa pertanahan tidak hanya antara rakyat dan rakyat
tetapi terdapat kecenderungan lebih didominasi konflik antara rakyat dengan pemodal yang