Page 119 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 119
Ahmad Nashih Luthfi dkk.
Kehawatirannya bukan pada nasib luas tanah sempit itu,
namun pada hubungan sawah kulian dan buruhan (300
ubin minus 90 ubin). Mereka menyadari kebijakan ini
32
justru akan membuat kisruh. Jika sertifikasi dilakukan
terhadap keseluruhan 300 ubin kulian, maka tanah itu
hak formalnya secara penuh ada di tangan kulian dan
potensial mengusir 2 RT yang menguasai 90 ubin di
dalamnya. Padahal sistem tradisional dan adat yang
berlaku hingga kini mengharuskan bahwa sawah 90 ubin
itu diserahkan hak garapnya kepada orang lain. Jika
kedua hak tadi (210 dan 90) diformalkan melalui
sertifikasi, maka kepada siapa 90 ubin itu diatasnama-
kan? Mereka merasa bahwa tidak tepat jika tanah 90 ubin
itu diformalkan kepemilikannya pada buruhan, sebab
mereka menganggap buruh hanyalah pemegang hak
garap dan bukan hak milik. Dengan demikian, ketiadaan
bukti formal (sertipikat hak milik) atas tanah kulian-
buruhan ini dianggap lebih menguntungkan dan menja-
min kemanan tenurial bagi buruh, daripada dianggap
sebaliknya.
Pemerintah desa juga tidak berani memformalkan
(melalui perdes. misalnya) yang menjelaskan bahwa
tanah 90 ubin itu milik desa, sebab dalam kasusnya di
32 Wawancara dengan Haryadi, 3 Juni 2010. Ia adalah lurah yang
saat itu bertanggung jawab atas rencana “program pemutihan”. Ia
sendiri merasa rencana ini akan membuat kisruh tatanan penguasaan
tanah di Ngandagan.
98