Page 123 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 123

Ahmad Nashih Luthfi  dkk.
                Sebagai bentuk gaji, maka tanah bengkok tidak bisa
            dimiliki, sehingga harus dikembalikan kepada pemerin-
            tahan desa tatkala masa jabatan berakhir. Meski demi-
            kian, lurah yang telah lengser masih menerima tanah
            sebagai penghargaan dengan kurun waktu tertentu.
            Tanah lungguh itu memperlihatkan tidak ada pemilik
            tanah yang kuat di Jawa. Tanah bengkok sebagai tanah
            yang luas menciptakan pasar tenaga kerja pada saat mu-
            sim tanam dan panen. Pada umumnya penerima tanah
            bengkok di desa Ngandagan pada saat panen mengam-
            bil tenaga panen dari penebas atau pemborong. Pilihan
            ini dilakukan karena mereka tidak lagi dirugikan melalui
            pembagian bawon jika dipanen oleh tenaga penderep.
            Cukup aneh bahwa pemilik lahan luas cenderung terbe-
            bas dari “norma sosial” yang menekankan bahwa pema-
            nenan mestinya dilakukan oleh tenaga dengan upah
            bawon. Sebaliknya pemilik tanah 45 ubin dan luas se-
            dang justru menjalankan atau menerima beban norma
            semacam itu.
                Selain pertimbangan di atas, penebas bisa bekerja
            cepat di lahan luas pamong desa terutama saat masih
            turun hujan. Mereka mempergunakan jasa penebas agar
            pemanenan berlangsung lebih cepat. Pada musim ini
            batang padi banyak yang rebah terkena angin kencang
            ketika hujan deras turun, dan ini dianggap menyulitkan
            pemanenan, sehingga dibutuhkan tenaga tebas untuk
            melakukannya. Demikian pula pada musim tanam. Untuk


            102
   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128