Page 141 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 141

Ahmad Nashih Luthfi  dkk.
            jual hak garap tanah itu, ini terutama ketika anak mem-
            butuhkan biaya pendidikan atau mencari kerja ke kota.
            Para penggarap sawah 45 ubin itu mengharapkan kalau
            anak bekerja di kota bisa membantu perekonomian ru-
            mah tangga mereka di desa.
                Sementara itu, pada masa lurah Soemotirto yang ber-
            hasil menegakkan kembali sistem tenurial tradisional
            melalui perombakan penguasaan tanah, tanaman
            pangan baik yang berada di ruang agroekologi sawah,
            tegalan dan perkarangan tidak diizinkan untuk diperjual
            belikan tetapi hanya untuk dikonsumsi oleh masyarakat
            penggarap Ngandagan. Hanya sedikit bahan pangan
            yang diperbolehkan dijual, seperti buah jeruk dan pepa-
            ya kepada pengunjung yang berwisata ke gunung Pencu.
            Alasannya karena jika tanaman pangan diperjualbelikan
            maka akan terjadi kesulitan pangan.
                Dalam sejarah ekonomi desa di Jawa, penjualan
            tegakan pohon berlangsung pula pada tahun 1930-an
            ketika terjadi depresi ekonomi di beberapa desa di Jawa.
            Jual beli itu dilakukan bukan oleh para pengijon, akan
                                    46
            tetapi oleh penagih kredit.  Penduduk terlibat dalam
            hutang-piutang dengan lembaga kredit desa. Karena
            mereka kesulitan mendapatkan uang tunai dan tidak ada


                46  Krisis ekonomi 1930-an menghancurkan perekonomian para
            penggarap dan memaksa untuk menggadaikan banyak harta. Untuk hal
            ini lihat. W.F. Wertheim. Indonesian Society in Transition. Bandoeng:
            Van Hoeve. 1952, hlm 259.

            120
   136   137   138   139   140   141   142   143   144   145   146