Page 171 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 171
Ahmad Nashih Luthfi dkk.
Pertama di Jakarta. Ia beristrikan Darti, seorang lulusan
Sekolah Menengah Atas yang berasal dari Temanggung.
Mereka dikaruniai 2 (dua) orang anak, yaitu seorang pute-
ri berumur 9 tahun dan 4,5 tahun. Junaidi Hadinoto dan
Darti bertemu di Jakarta karena sama-sama bekerja seba-
gai buruh di sebuah pabrik garmen. Mereka kembali ke
Desa Ngandagan sekitar 8 tahun yang lalu atau tahun
2002, karena kedua-duanya terkena kebijakan PHK (Pe-
mutusan Hubungan Kerja) yang ditawarkan perusahaan
dengan masa kerja 12 tahun dan istri 8 tahun. Pesangon
yang diterima keduanya berjumlah Rp. 22.000.000 yang
digunakan untuk membangun rumah di tanah warisan
orang tuanya dan untuk membuka usaha di Desa Ngan-
dagan.
Banyak penduduk Ngandagan yang merantau, ber-
temu dengan jodohnya di kota perantauan, dan menetap
di kota perantauan itu, atau meninggalkan anak-istri di
Ngandagan, sementara suami tetap bekerja di kota. Ti-
dak semua bernasib untung seperti Junaidi Hadinoto saat
menerima keputusan PHK.
Meskipun tidak memiliki bekal ilmu pertanian, Ju-
naidi Hadinoto “membeli” tanah sawah garapan seluas
45 ubin selama 5 tahun, dengan sistem sewa garap
dengan harga sewa garap Rp 650.000 per tahun. Tanah
sawah garapan tersebut tidak diusahakan untuk mena-
nam padi, melainkan untuk usaha pembibitan tanaman
sengon (albasia). Selanjutnya, karena posisi tanah sawah
150