Page 188 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 188

Kondisi dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan ...
               pemilik sawah. Atau bisa juga terjadi sebaliknya. Tukang
               tebas akan mencari tenaga panen dari luar desa. Tenaga
               dalam desa juga bisa dilibatkan. Menariknya, sebagai
               pengupahan kepada tenaga kerja tebasan, juragan tebas
               tidak membayar mereka dengan uang kontan, namun
               masih dalam bentuk natura dengan perbandingan yang
               jauh lebih kecil, yakni 10:1 daripada upah bawon. Hal
               ini berbeda dengan cara pengupahan tebasan umumnya
               yang menggunakan upah uang. Sistem “bawon” masih
               berlaku namun dengan persentase yang kecil. Meski ma-
               sih mempertahankan pembayaran natura dalam tebasan
               ini, masyarakat menyebutnya sistem ini sebagai tebasan
               dan bukan bawon.
                   Dengan bekerja dari jam 06.00 – 16.00 seorang buruh
               tebas dapat memperoleh 20 kg gabah basah. Dengan masa
               panen di Desa Ngandagan yang berlangsung selama 10-
               14 hari, maka ia bisa memperoleh gabah 20 kg x 14 hari =
               280 kg.  Penebas mendapat sekitar Rp. 560.000 – Rp.
               644.000 (dengan per kg sekitar Rp. 2000 - Rp. 2300) jika
               ditukarkan ke rupiah
                   Juragan tebas ada yang dari Desa Ngandagan dan
               ada pula yang dari luar Desa Ngandagan. Oleh karena
               adanya dua kelompok penebas ini, maka terjadi per-
               saingan. Tukang tebas yang berasal dari Desa Ngandagan
               adalah Suhardijo Amang, Djuwono, dan Daryono
               Bahagio. Mereka yang berasal dari luar desa Ngandagan
               membawa tenaga tebasan dari luar desa, dan sebaliknya


                                                             167
   183   184   185   186   187   188   189   190   191   192   193