Page 219 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 219
Ahmad Nashih Luthfi dkk.
penduduk agar tanah itu dijadikan tanah komunal. 4
Tanah sawah buruhan 45 ubin sebagai tanah komu-
nal desa dan hak garapnya bisa dipergunakan secara
turun-temurun tidak bisa diperjual-belikan keluar desa
Ngandagan. Juga, tanah kulian baku dengan tanah bu-
ruhan bercampur dalam hamparan tanah sawah dibebe-
rapa bagian tempat di desa Ngandagan. Tanah-tanah
buruhan itu terparsialisasi dan tersebar mengikuti tanah
babon kulian baku. Keadaan tanah buruhan yang terpar-
sialisasi tidak hanya terjadi di Ngandagan saja, akan
tetapi berlangsung pula di beberapa kecamatan Purwo-
rejo seperti di Kalikotes, Prigelan, dan Wonosari. Selain
itu, pemotongan tanah kulian 300 ubin telah berhenti sejak
masa Soemotirto. Luas tanah terbatas dan tidak ada lagi
yang dibagi. Dalam perkembangannya pemotongan itu
masih tetap dilakukan oleh pemerintahan desa terhadap
tanah kurang dari 300 ubin. Tanah luas ½ kuli (150 ubin)
dipotong 45 ubin, ¼ kuli (75 ubin) dipotong 22, 5 ubin, 1/
8 kuli dipotong 12 ubin. Tanah buruhan 45 ubin hasil
pemotongan inilah yang dibagi kepada mereka yang
dinilai membutuhkan. Luas tanah pemotongan yang
kurang dari 45 ubin tidak diminta dalam bentuk tanah
4 Seringkali tanah-tanah komunal tidak memiliki pembukuan tanah
secara resmi, maka tanah-tanah semacam itu menjadi tanah desa. Untuk
hal ini lihat. Mochammad Tauchid, Masalah Agraria, sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, (Yogyakarta: STPN
Press, 2009), hlm. 158-161.
198