Page 458 - Kembali ke Agraria
P. 458

Kembali ke Agraria

               lahan-lahan petani. Dampaknya, produsen pangan yang utama tidak
               lagi petani dan nelayan kecil, melainkan korporasi atau perusahaan
               besar.


               Permentan “permen” pahit
                   Sejumlah substansi yang diatur draf Permentan ini ibarat permen
               pahit bagi petani. Sikap Tani mencatat beberapa poin substansi yang
               perlu dikritisi dari draf Permentan ini. Di antaranya, pertama, menge-
               nai jenis usaha dalam produksi yang diawali penyiapan lahan hing-
               ga pascapanen dan diakhiri dengan pemasaran yang berpotensi
               menimbulkan monopoli swasta atas produksi dan distribusi perta-
               nian pangan (Pasal 3). Kedua, pelaku usaha bisa melakukan budi
               daya tanaman pangan yang berpotensi menimbulkan sengketa dengan
               petani, petambak, dan masyarakat adat (Pasal 4). Ketiga, tak ditentu-
               kan persentase modal asing dan modal dalam negeri berpotensi
               menimbulkan dominasi modal asing, meski memakai badan hukum
               Indonesia. Keempat, menggunakan tenaga kerja lebih dari sepuluh
               orang. Ini berpotensi menjadikan petani sebagai buruh tani di tanah-
               nya sendiri. Padahal, statusnya sebagai subjek pembaruan agraria
               seharusnya mendapatkan hak atas landreform dan kemitraannya
               dengan pelaku usaha adalah bagi hasil (Pasal 6 dan 7).
                   Kelima, penggunaan batasan kurang dari 25 hektare, luas mak-
               simum 10.000 hektare, dan di Papua bisa dua kali lipat, berpotensi
               bertentangan dengan UU Pokok Agraria 1960, UU Penataan Ruang,
               UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Kawasan
               Ekonomi Khusus, dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
               Berkelanjutan, serta UU Otonomi Khusus yang berlaku di Aceh,
               Papua, dan DIY (Pasal 6, 7, 9). Keenam, kemitraan justru akan mencip-
               takan corporate farming di mana petani menjadi buruh dan menye-
               babkan masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya (Pasal 11, 12,
               18). Ketujuh, seharusnya masyarakat juga memiliki hak menolak dan
               hak mengguggat, bukan hanya dimintai masukannya (Pasal 37).
                   Sikap Tani menyatakan menolak draf Permentan ini dan menun-


                                                                       439
   453   454   455   456   457   458   459   460   461   462   463