Page 462 - Kembali ke Agraria
P. 462
Kembali ke Agraria
Pembicara pamungkas, Prof. Bustanul Arifin (Guru Besar Ilmu
Ekonomi Pertanian Universitas Lampung/Unila), menyuguhkan
sejumlah hasil penelitiannya yang menggambarkan kondisi keta-
hanan pangan kita yang masih sangat rentan. Sekalipun cukup baik
dari segi konsep, Bustanul mengingatkan, tantangan di lapangan
untuk mewujudkan “agro-ekologi” itu tidak kecil dan sangat
kompleks.
Kritik “food estate”
Dalam diskusi ini, penulis hadir, namun tak sempat bicara.
Melalui tulisan ini, penulis ingin berbagi pandangan dalam rangka
menemukan arah, konsep, kebijakan, dan praktik baru pembangunan
pertanian yang lebih adil dan berkerlanjutan. Penulis merasa lebih
nyaman jika tema diskusi dilengkapi menjadi “Alternatif Pembangunan
Pertanian yang Adil dan Berkelanjutan.” Keadilan sosial ialah aspek
pokok yang tak layak dinihilkan sebelum membicarakan isu keber-
lanjutan.
Sebagaimana diketahui, demi menggenjot produktivitas perta-
nian pangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menan-
datangani Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang
Usaha Budi Daya Tanaman (28 Januari 2010). Terbitnya PP No 18/
2010—yang secara implisit jadi dasar hukum bagi food estate ini—
telah memicu kontroversi di ruang publik. Penulis telah memberi
catatan kritis guna mengakhiri kontroversi food estate (Sinar Harapan,
17/4/10).
Sejumlah pihak mensinyalir, penerapan PP ini bakal menim-
bulkan problem baru dalam kebijakan pertanian dan keagrariaan.
Misalnya dalam hal permodalan food estate. Pasal 15 menegaskan
penanaman modal asing yang akan melakukan usaha budi daya
tanaman wajib bekerja sama dengan pelaku usaha dalam negeri
dengan membentuk badan hukum dan berkedudukan di Indonesia.
Batas modal asing maksimun 49 persen. Inilah pintu gerbang domi-
nasi asing di lapangan food estate.
443

