Page 474 - Kembali ke Agraria
P. 474
Kembali ke Agraria
lahan oleh Perhutani. Seharusnya, pengukuhan kawasan hutan,
sebagaimana diatur ayat (1) UU No 41/1999 tentang Kehutanan,
dilakukan melalui tahapan: (a) Penunjukan kawasan hutan; (b) Pena-
taan batas kawasan hutan; (c) Pemetaan kawasan hutan; dan (d)
Penetapan kawasan hutan. Menurut berbagai sumber, sampai hari
ini baru 9 persen yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Juga perlu evaluasi kebutuhan tanah untuk hunian, lahan per-
tanian, sarana pembangunan, fasilitas umum, industri, niaga, perkan-
toran, dan infrastruktur. Dari sisi struktur dan tata guna tanah, luasan
tak sesuai lagi dan harus direvisi. Menurut Badan Pertanahan Nasio-
nal (BPN), areal yang diklaim Perhutani 60 persen berbentuk dataran,
40 persen tebing, dan hampir 20 persen ada di wilayah perkotaan
dan sarana pertanian yang ditunjang irigasi teknis. Inilah realitas
yang ironis.
Klaim Perhutani atas status tanah kawasan hutan selama ini
tidak benar. BPN sebagai institusi pertanahan/keagrariaan belum
pernah mengeluarkan keputusan mengenai siapa yang paling berhak
untuk memiliki/menguasai tanah-tanah kawasan hutan tersebut.
Sampai saat ini, status tanah tersebut masih tanah negara, konseku-
ensi yuridisnya, setiap warga negara punya hak sama untuk memo-
hon tanah tersebut menjadi tanah milik melalui mekanisme yang
berlaku.
Perlu pembaruan
Setelah mencermati kaitan masalah kehutanan dengan gerakan
petani, ke depan patut ditimbang beberapa hal. Pertama, terkait per-
nyataan Kadishut Jabar Anang Sudarna, SPP menganggapnya seba-
gai bentuk pembusukan, pembunuhan karakter, serta pencemaran
nama baik yang tak berdasar dan fitnah yang sangat keji. Oleh karena
itu, SPP telah melayangkan gugatan secara hukum melalui Polda
Jabar (20/05/2010).
Kedua, perlu diusut segera secara tuntas adanya dugaan praktik
mafia kehutanan dan perkebunan sampai tuntas lewat perizinan
455

