Page 60 - ESSAI AGRARIA 22.indd
P. 60
masyarakat hukum adat yang belum dapat menjamin hak-
haknya secara optimal. Namun, terdapat terobosan hukum untuk
melakukan pengakuan hak yang tidak berorientasi subjek, yaitu
melalui Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reformasi Agraria.
Perpres tersebut memberikan ruang kepada “kelompok masyarakat
dengan Hak Kepemilikan Bersama” untuk mendapatkan jaminan
hak tenurial. Terlebih untuk MHA yang “tersandung” perda
pengakuan.
Oleh sebab itu, tulisan ini berupaya untuk menguraikan
perlunya pembaharuan strategi pengakuan hak masyarakat hukum
adat sesuai dengan amanah konstitusi. Pembaharuan strategi
dimaksudkan pada implementasi pendekatan hak dengan semangat
pemberlakuan model hibrida (Ubink, et al., 2009; Utama, 2020).
Model ini bertujuan memberi ruang untuk hukum lokal (dalam
hal ini hukum adat) untuk terus berlaku sembari bertransformasi
agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip penghormatan HAM,
kesetaraan gender, serta akuntabilitas kekuasaan. Secara khusus
dan konkret, tulisan ini akan berfokus pada metode pengakuan
dengan menerbitkan bukti hak kepemilikan dan/atau penguasaan
kepada MHA melalui produk Surat Keputusan.
Urgensi metode pengakuan tersebut adalah pertama, ketika
berhadapan dengan konflik tenurial, MHA tidak jarang berada
dalam keadaan “tidak diakui” melalui Perda. Hal tersebut kerap
kali menjadi hambatan baik dalam penyelesaian sengketa litigasi
maupun non litigasi. Kedua, karena penggunaan sertipikat sebagai
“bukti terkuat” tidak mengakomodasi MHA sebagai subjek yang
berhak atas tanah ulayat.
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian
hukum doktriner dengan melakukan studi dokumen. Penelitian
hukum doktriner/doktrinal juga dikenal sebagai penelitian hukum
Strategi Kolaboratif Penyelesaian Sengketa, Konflik, dan 49
Perkara Pertanahan dan Pemberantasan Mafia Tanah