Page 65 - ESSAI AGRARIA 22.indd
P. 65
daerah. Kedua, perlu biaya tinggi, waktu lama dan negosiasi politik
tidak pasti. Ketiga, faktor dinamika dan posisi politik daerah.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai kasus tersebut, penulis
akan menguraikan salah satu kasus yang diteliti Utama untuk
mengetahui pokok permasalahannya.
Kasus yang akan penulis pinjam adalah Balai Kiyu yang
merupakan salah satu dari ratusan komunitas di Kabupaten Hulu
Sungai Tengah (HST), namun pada tahun 2012 konflik muncul ke
permukaan karena kedatangan Balai Pemantapan Kawasan Hutan
(BPKH) untuk mengukur Hutan Lindung Meratus. Klaim yang
diajukan oleh Balai Kiyu dapat diterima oleh BPKH dengan syarat
adanya perda pengakuan. Areal yang akan diukur dinyatakan oleh
BPKH sebagai hutan lindung (hutan negara).
Untuk memperjuangkan wilayah adatnya, Balai Kiyu hendak
mengambil peluang melalui UU Desa yang menghendaki adanya
Desa Adat. Namun, untuk dapat memperoleh status Desa Adat
pun perlu mengantongi perda pengakuan. Upaya memperoleh
perda pengakuan pun terhambat karena alasan administratif, yaitu
(1) tidak ada struktur terdaftar pada basis data pemda; dan (2) desa
baru tidak mungkin dibentuk karena Kabupaten HST telah berada
dalam batas maksimal jumlah desa.
Selanjutnya, penulis akan menilik praktik pengakuan
masyarakat hukum adat melalui putusan pengadilan. Konflik
tenurial adat baik yang bersifat horizontal antar persekutuan atau
vertikal melibatkan pemerintah dan/atau swasta, tak jarang sampai
di ranah litigasi. Sebagai contoh adalah kasus dalam Putusan No.
18/G/2015/Ptun.Bjm dan Putusan No.248K/Ptun/2016.
Pada perkara pertama, Penggugat berasal dari Masyarakat
Adat Mangkalapi Hati’if yang melakukan gugatan TUN atas izin
pinjam pakai kawasan hutan untuk eksploitasi batubara PT Borneo
54 Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Pertanahan dan Tata Ruang
Menuju Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat