Page 66 - ESSAI AGRARIA 22.indd
P. 66
Indobara di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pada
perkara pertama, Hakim PTUN mengabulkan eksepsi para tergugat
terkait legal standing penggugat. Hakim berpendapat bahwa
Bupati Tanah Bumbu (Tergugat II) tidak pernah menerbitkan
produk hukum yang mengakui keberadaan penggugat sebagai
MHA. Dalam hal ini, Hakim merujuk kepada ketentuan Pasal 67
UU No. 41 Tahun 1999.
Pada perkara dalam putusan kedua, penggugat yang merupakan
pemangku adat Masyarakat Adat Saumolewa menggugat Bupati
Buton Selatan dan PT. Satya Jaya Abadi atas penerbitan izin
pemanfaatan kayu. Dalam perkara ini pula tergugat mengajukan
eksepsi terkait legal standing penggugat karena di Kabupaten
Buton Selatan belum ada satupun kelompok masyarakat adat yang
keberadaannya diakui secara turun temurun (sampai putusan
keluar). Hakim pun menyetujui bahwa penggugat tidak dapat
membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat yang dirugikan.
Pada kedua putusan tersebut, penggugat dinilai melakukan
klaim sepihak sebagai masyarakat adat, memiliki kesulitan untuk
memperjuangkan haknya. Semestinya penilaian mengenai “klaim
sepihak” tidak sekonyong-konyong dilihat melalui pendekatan
formil melainkan harus digali kebenaran materiilnya. Dalam arti,
hakim yang berkewajiban menggali hukum seharusnya melakukan
penemuan hukum adat tanpa meninggalkan pendekatan empiris.
Karena sejatinya pengakuan menjadi hal yang dibutuhkan oleh
masyarakat karena turut membentuk identitas seseorang, yaitu
bagaimana mereka memahami karakter mendasar diri sendiri
(Taylor, 1992).
Dalam kedua perkara tersebut, MHA belum dapat menyentuh
pokok perkara dan harus terhenti pada eksepsi. Sehingga konflik
tenurial yang sebenarnya tidak mendapat penyelesaian yang
Strategi Kolaboratif Penyelesaian Sengketa, Konflik, dan 55
Perkara Pertanahan dan Pemberantasan Mafia Tanah