Page 117 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 117

98    Land Reform Dari Masa Ke Masa

                 Kedua agenda itu – yang sangat cocok dengan visi
            kebijakan, manajemen dan administrasi pertanahan pro-
            pasar yang dipromosikan oleh Proyek Administrasi
            Pertanahan Bank Dunia – secara signifikan menggembosi
            semangat antusiasme aktivis dan pakar agraria yang
            sebelumnya mulai berpartisipasi dalam proses pembuatan
            kebijakan land reform di BPN; Dan sebaliknya, hal itu
            memprovokasi aktivis dan pakar agraria untuk menolak
            dan menjegal upaya merevisi UUPA 1960, yang dipercayai
            sebagai satu-satunya undang-undang Republik Indonesia
            yang mempertahankan semangat dan jiwa sosialis dari
            Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
                 Sementara itu di luar BPN, Ketetapan tersebut
            menginspirasi aktivis dan pakar agraria untuk bekerjasama
            dengan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas
            HAM) untuk mengembangkan sebuah usulan kebijakan
            untuk membentuk lembaga khusus, bernama Komisi
            Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA),
            untuk memproses klaim yang berhubungan dengan
            perampasan tanah di bawah rezim Soeharto (Bachriadi
            2004; Tim Kerja KNuPKA, 2004). Sejak tahun 2000,
            Komnas HAM telah mengadopsi sebuah pendekatan
            “keadilan transisional” (transisional justice) untuk



            ke pemerintah kabupaten/kota sebagai berikut: (a) untuk
            mengeluarkan ijin lokasi; (b) untuk melakukan pembebasan
            tanah dari proyek pembangunan; (c) untuk menyelesaikan
            sengketa tanah agraria; (d) untuk menyelesaikan kompensasi
            pembebasan tanah untuk proyek pembangunan; (e) untuk
            menentukan penerima manfaat dan objek tanah yang
            ditargetkan oleh program redistribusi tanah; juga kompensasi
            bagi pemilik tanah yang tanahnya diredistribusi; (f) untuk
            menyelesaikan sengketa perihal tanah-tanah adat; (g) untuk
            menentukan alokasi dan penggunaan “tanah-tanah terlantar”,
            (h) untuk memberikan izin pembukaan tanah pertanian yang
            baru;, dan (i) untuk mengatur rencana penggunaan untuk tanah
            di kabupaten/kota.
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122