Page 144 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 144

Epilog : Pemerintah Sebagai Pengurus Rakyat  125
                      “rakyat langsung merasakan  akibat politik agraria
                      kolonial Belanda berupa kemiskinan dan
                      kesengsaraannya … buku ini bukan sekedar kupasan
                      tentang politik yang terdapat dalam Hukum Agraria
                      Pemerintah Hindia Belanda, bagaimana prakteknya
                      dengan segala akibatnya. Juga hak-hak tanah
                      menurut hukum adat dengan segala peraturan yang
                      mengikutinya. … (A)gar dalam usaha kita
                      menyelesaikan soal ini mempunyai gambaran,
                      mengetahui pangkal yang menimbulkan keadaan
                      semacam ini.” (huruf miring dari penulis, NF)
                    Lebih lanjut, Tauchid menegaskan bahwa pangkal
               dari kesulitan untuk memakmurkan rakyat petani di In-
               donesia di awal masa kemerdekaan adalah warisan
               hukum agraria kolonial.
                      Hukum Agraria yang kita pusakai sekarang, pokoknya
                      bertujuan: menjamin kepentingan modal besar
                      partikelir di atas kepentingan Rakyat Indonesia
                      sendiri, dengan memberikan hak-hak istemewa
                      kepada orang asing akan tanah, di balik itu
                      mengabaikan hak rakyat. Kecuali itu terdapat macam-
                      macam hak tanah menurut adat yang berlaku di
                      kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Keadaan
                      semacam ini tidak sepantasnya ada dalam negara
                      yang akan menjamin kemakmuran bagi Rakyat
                      (Tauchid 1953:51).
                    Menelusuri pangkal persoalan kemiskinan dan
               penderitaan rakyat akan menghindarkan diri kita dari
               sikap menyalahkan korban: Rakyat yang sudah menjadi
               korban, dipersalahkan pula. Di lain pihak, juga
               menghindarkan diri kita dari sikap mengasihani korban. 96
               Sebaliknya kita akan mengakui keutamaan dari cara



                96  Paulo Freire, pemikir pendidikan di abad 20 yang berasal dari Brazil,
               mengemukakan bahwa sikap menyalahkan korban ini dan mengasihani
               korban  menjadi hambatan utama bagi pembebasan kaum tertindas
               dari hubungan penindasan yang melingkupi dan membentuk korban.
               Baca: Paulo Freire (1972, 1973). Kedua buku ini telah diterjemahkan
               dalam bahasa Indonesia, masing-masing dalam Freire (1985, 1984).
   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149