Page 69 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 69
50 Land Reform Dari Masa Ke Masa
untuk menyetarakan bagian keuntungan antara pemilik
tanah dengan petani penggarap; (b) untuk memperkuat
hak-hak hukum dan kewajiban dari kedua belah pihak,
khususnya untuk melindungi penggarap yang berada
dalam posisi rentan; dan (c) melalui penyetaraan bagian
keuntungan dan melindungi petani penggarap, hal ini
diharapkan akan meningkatkan produktivitas dari tanah
tersebut. UU tersebut menyatakan bahwa setiap
perjanjian panen harus dalam bentuk perjanjian tertulis
untuk masa minimal tiga tahun untuk lahan sawah dan
lima tahun untuk lahan basah. Perjanjian tertulis
tersebut harus dibuat di depan kepala desa dan dua saksi,
dan harus diratifikasi oleh camat. UU tersebut
memberikan panduan sebagai berikut:
si pemilik lahan mendapat bagian 50% dan buruh
panen mendapat 50% jika lahan tersebut adalah
sawah; si pemilik lahan mendapat bagian 33,33% dan
buruh panen mendapat 66,66% jika lahan tersebut
adalah tanah kering atau tanah basah dengan tanaman
tunai;
jika kesepakatan yang ada untuk pembagian hasil
panen lebih baik untuk buruh panen ketimbang
panduan di atas, kedua pihak harus menggunakan
kesepakatan yang sudah ada. 40
Untuk memajukan agenda land reform, pada tahun
1963 – tahun ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) menetapkan Sukarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia dan presiden seumur
hidup – Sukarno menetapkan 24 September sebagai Hari
Petani yang harus dirayakan dengan kegiatan upacara,
diikuti dengan rencana kerja untuk meningkatkan
kehidupan petani untuk mencapai suatu masyarakat yang
adil dan sejahtera. Pertimbangan dari Keputusan Presiden
40 Rincian lebih lanjut mengenai UU No. 2/1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil, lihat Parlindungan (1991).