Page 19 - Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran Tanah, dan Integrasi Tata Ruang
P. 19

2    AN Luthfi, Dwi Wulan TA, Dian Aries M.

            dapat  dikeluarkan  Peraturan  Menteri  atau  bahkan  Peraturan
            Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  (Perpu)  yang  menegaskan
            hal ini sehingga Kementerian ATR/BPN berwenang penuh dan tidak
            ragu-ragu mengambil-alih dan mengendalikan kembali tanah bekas
            HGU, serta menghapus pemahaman dan praktik ‘hak prioritas’ dan
            ‘hak  keperdataan’  yang  telah  berakibat  menyandera  posisi  negara
            c.q Kementerian ATR/BPN.
                 Regulasi  tersebut  selain  menjawab  kebutuhan  pengaturan
            tanah bekas hak (HGU), seyogyanya juga mampu menjawab situasi
            krisis yang dihadapi, baik berupa krisis sosial maupun krisis ekologi
            yang  ada  di  suatu  lokal  tertentu.  Ini  mengingat  jika  semata-mata
            berangkat dari kondisi hak atas tanah yang telah habis, kenyataan
            ini  sebenarnya  adalah  kondisi  normal,  bukan  krisis.  Terjadi  krisis
            jika di atas tanah tersebut telah ada (re)klaim dan penggarapan oleh
            masyarakat  sehingga  menimbulkan  sengketa,  konflik,  bahkan
            perkara  pertanahan.  Suatu  krisis  yang  menggambarkan  kondisi
            kebutuhan  masyarakat  akan  tanah  dan  kronisnya  ketidak-adilan
            agraria di wilayah tersebut.
                 Kenyataan  di  atas  menjadi  gambaran  dari  apa  yang  terjadi,
            misalnya di tanah bekas Hak Guna Usaha PT Perkebunan Nusantara
            (PTPN) II dengan  sekitar  5.873,06 hektare yang masih terus me-
            nimbulkan konflik. Bekas HGU PTPN II ini tersebar di Deliserdang,
            Serdang Bedagai dan Langkat, Sumatera Utara.
                 Konflik  melibatkan  antara  pihak  PTPN  II  yang  merasa  masih
            mengantongi  dan  mengajukan  perpanjangan  HGU  dengan  para
            petani  penggarap  yang  menduduki  lahan  yang  mengorganisir  diri
            dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB) .  Mereka terdiri dari berbagai
                                              1
            etnis, generasi, dan wilayah. Masyarakat menduduki lahan tersebut
            atas dasar hak ulayat atas dasar alas hak objek landreform. Mereka
            menuntut agar lahan seluas tersebut tidak diperpanjang masa HGU-
            nya  sebab  semula  tanah  tersebut  adalah  perkebunan  Deli  yang
            dibangun Belanda tahun 1917 dan telah diduduki masyarakat pada
            masa Jepang dan menjadi obyek landreform pada tahun 1964. Akan
            tetapi pada era pasca 1965, tanah tersebut terbit HGU perkebunan

               1  Evalisa  Siregar,  http://sumut.antaranews.com/berita/155962/pemprov-
            sumut-bentuk-tim-penyelesaian-konflik-lahan, diakses 15 Juli 2016
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24