Page 21 - Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran Tanah, dan Integrasi Tata Ruang
P. 21

4    AN Luthfi, Dwi Wulan TA, Dian Aries M.

            bekas  HGU  bisa  tidak  dianggap  berinvestasi,  meski  telah  mencu-
            rahkan  tenaga  dan  bahkan  modal  dalam  menghidupkan  lahan
            tersebut.
                 Meski menggunakan istilah ‘hak’, sebenarnya ia bukanlah hak
            atas tanah sebagaimana yang ada dalam Pasal 16 UUPA 1960.  Oleh
            karena itu di tingkat pelaksana muncul perdebatan apakah priori-
            tisasi  tersebut  yang  oleh  sebagian  pihak  dianggap  sebagai  prinsip
            dalam  pemberian  hak  atas  tanah  (berupa  HGU)  dapat  diperta-
            hankan ataukah tidak. Terlebih jika dilihat dari perspektif keadilan
            atas  tanah  dan  dihadapkan  pada  kenyataan  banyaknya  tanah  eks-
            HGU yang dalam kondisi (di)terlantar(kan) ataupun telah dikuasai
            masyarakat  baik  konfliktual  maupun  tidak.  Pada  gilirannya
            keyakinan  adanya  ‘hak  prioritas’  mengakibatkan  kendala  bagi
            pelaksana  untuk  menjalankan  kebijakan  pertanahan  lebih  luas
            seperti pendayagunaan tanah terlantar, redistribusi tanah eks-HGU,
            atau pemberian hak baru kepada subyek yang lain. Dapat dikatakan
            bahwa hak prioritas telah menyandera negara karena memberikan
            dorongan  secara  persisten  hak  kepada  pemegang  yang  ada,  yakni
            perusahan.  Pemahaman  ini  memberi  tendensi  buruk  sebab  posisi
            negara yang mempunyai ‘hak menguasai negara’ atas tanah negara
            itu tampak lemah di hadapan swasta.
                 Tanah bekas hak (HGU, HGB, HPL) menurut aturan yang ada
            saat ini statusnya menjadi “dikuasai oleh negara”. Maka, jika dirunut
            status tanah hak tersebut pada mulanya adalah tanah negara, lalu
                                                                          2
            menjadi  tanah  hak,  dan  menjadi  tanah  negara  (TN-TH-TN).
            Namun, melihat konflik yang ada sebagaimana digambarkan dalam
            kasus  di  atas,  membuka  peluang  tafsir  dan  temuan  sementara
            bahwa  pada  mulanya,  apa  yang  dinyatakan  sebagai  tanah  negara
            sehingga  di  atasnya  dapat  dikeluarkan  hak  atas  tanah,  adalah
            berasal dari tanah hak juga (tanah rakyat) atau tanah adat. Adanya
            klaim  dan  reklaiming   itu  menunjukkan  bahwa  telah  ada  hak
                                 3

               2  Julius Sembiring, “Hak Prioritas”, makalah diskusi di PPPM STPN, Jumat,
            15 Juli 2016
               3  Berbeda  dengan  pelabelan  yang  biasanya diberikan  otoritas  resmi  pada
            petani penggarap sebagai ‘okupan’ yang mencerminkan pendudukan liar/ilegal,
            istilah  ‘reklaiming’  digunakan  untuk  menunjukkan  bahwa  petani  penggarap
            sedang melakukan ‘pengakuan kembali’ atas tanah yang semula adalah tanah
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26