Page 25 - Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran Tanah, dan Integrasi Tata Ruang
P. 25
8 AN Luthfi, Dwi Wulan TA, Dian Aries M.
but kata ‘negara RI’ sejatinya adalah menghadirkan sosok ‘negara
republiken’, ‘negaranya rakyat Indonesia’. Sayangnya, persoalan
perusahaan perkebunan (erfpacht) ini tidak tegas dalam UUPA 1960.
Hukum Tanah Nasional ini masih mengakomodasi perkebunan
dalam HGU, dengan mengubah subyek hak (hanya WNI), dan
jangka waktunya (yang jika diakumulasi masih sepanjang usia
erfpacht). Tidak ada perubahan substansial dalam kebijakan perke-
bunan ini. Gerakan rakyat melalui berbagai organisasi buruh perke-
bunan dan tani untuk mendapatkan tanah dan posisi kuat di
perusahaan perkebunan mewarnai situasi pada era 1960-an ini.
Pemerintahan Soekarno merasa cukup percaya diri, meski masih
mengakomodir HGU, pada kelanjutannya keberadaan perusahaan-
perusahaan perkebunan tersebut akan berada pada kendali Negara
(untuk di-BHMN-kan).
Posisi keberpihakan negara itu bergeser pada era pemerintahan
Orde Baru. Secara umum dalam kasus HGU, negara lebih merepre-
sentasikan pihak perusahaan. Kebijakan prioritisasi perkebunan
dengan pilihan pada pihak perusahaan ataukah pada rakyat
bergerak secara dinamis dalam rentang panjang tersebut. Berbagai
arah kebijakan agraria dalam perspektif historis itu memberi bahan
refleksi kita mengenai posisi negara di hadapan perusahaan dan
rakyat dalam mengelola sumberdaya alamnya.
Meski secara umum arah politik agraria Indonesia pada masa
Orde Baru adalah ‘tanah untuk pembangunan’, pada tahun 1979
muncul upaya penyelesaian tanah yang diduduki rakyat sejak era
sebelumnya. Keppres No. 32 Tahun 1979 menampakkan semangat
prioritas untuk rakyat. Akan tetapi berubah sejak lahirnya Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, era dimana pembukaan perusa-
haan perkebunan dan HTI terjadi dimana-mana. Jika dikembalikan
kepada semangat sebelumnya, ketentuan ini menimbulkan per-
tanyaan. Apakah kebijakan ‘prioritas’ ini sesuai dengan semangat
UUPA dan ketentuan sebelumnya yang berorientasi kesejahteraan
rakyat, berkeadilan, dan bersifat antimonopolistik? Kemana sebe-
narnya arah politik kebijakan pertanahan yang diemban oleh ketiga
regulasi di atas, utamanya PP Nomor 40 Tahun 1996? Tidakkah
tafsir mengenai adanya hak prioritas kepada pemegang lama