Page 39 - Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran Tanah, dan Integrasi Tata Ruang
P. 39

22    AN Luthfi, Dwi Wulan TA, Dian Aries M.

                 Sejak  Jepang  masuk  ke  Indonesia  (tahun  1942),  perkebunan
            tersebutditinggalkan  pengelolanya  dan  menjadi  tanah  terlantar,
            sehingga  menyebabkan  kaum  buruh  perkebunan  tersebut
            mengalami  pengangguran  dan  terlantar.  Akibat  peristiwa ini,  para
            kaum  buruh  yang  mayoritas  transmigran  tempo  doeloe  asal  Jawa
            Tengah  dan  Jawa  Timur  mulai  melakukan  penggarapan  setahap
            demi setahap di atas tanah perkebunan tersebut untuk memenuhi
            kebutuhan mereka. Jepang juga memobilisasi para pendatang untuk
            menanam  padi  dan  jagung  akibat  krisis  pangan  yang  dihadapinya
            (Budi Agustono dkk, 1997: 49).
                 Setelah pendudukan Jepang berakhir, dikeluarkan  Staatsblaad
            1948-110  dengan  maksud  agar  semua  okupan  tanah  perkebunan
            segera   meninggalkan  garapan    baru.   Akan   tetapi   dalam
            kenyataannya reklaiming terus berkembang ke areal perkebunan.
                 Areal HGU PTPN III (Persero) Kebun Bangun yang terletak di
            Kecamatan Siantar Martoba direklaiming oleh masyarakat/pengga-
            rap  yang  tidak  memiliki  lahan  pertanian.  Tingginya  tingkat
            kepadatan penduduk di sekitar areal perkebunan dengan pemilikan
            tanah pertanian yang sangat kecil tidak cukup untuk memberikan
            penghidupan  yang  layak  bagi  petani.  Oleh  karena  itu,  pada  areal
            perkebunan  di  daerah  ini  banyak  terdapat  penggarapan-pengga-
            rapan liar (reklaiming).
                 Penggarapan tanah secara liar terus berlangsung dan semakin
            meluas ke areal perkebunan Simbolon sejak zaman Jepang (Tahun
            1942)  sampai  dengan  Tahun  1968  hingga  mencapai  luas  2.566,40
            hektar. Sampai dengan tahun 1968, luas areal perkebunan Simbolon
            yang  masih  diusahai  pihak  perkebunan  Simbolon  adalah  seluas
            1.292,12 hektar terdiri dari Afdeling I Simbolon seluas 452,63 hektar,
            Afdeling II Bah Kapul seluas 431,08 hektar dan Afdeling III Martoba
            seluas 408,41 hektar. Begitu tingginya intensitas garapan masyarakat
            di  areal  perkebunan  Simbolon  pada  masa  itu  terjadi  karena
            banyaknya  areal  perkebunan  yang  dibiarkan  terlantar  akibat
            ditinggalkan oleh pengusaha Belanda.
                 Reklaiming areal perkebunan Simbolon dilakukan oleh masya-
            rakat baik secara terorganisasi maupun secara perorangan. Organi-
            sasi  yang  ada  salah  satunya  adalah  Panitia  Pembentukan  Tali  Air
   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44