Page 49 - Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran Tanah, dan Integrasi Tata Ruang
P. 49
32 AN Luthfi, Dwi Wulan TA, Dian Aries M.
Dari hasil wawancara dengan Pihak Kantor Pertanahan Kota
Pematangsiantar, diperoleh keterangan bahwa kesepakatan
pengembalian tanah antara Bupati dan pihak Perkebunan pada
tahun 1970 tidak bisa diterima oleh rakyat karena areal yang
dimaksud sudah lebih dari 50% merupakan areal persawahan yang
telah aktif dan produktif. Selain itu pada areal persawahan juga
telah dibangun irigasi swadaya masyarakat. Namun dengan
terpaksa, masyarakat harus mengembalikan tanah-tanah garapan
tersebut karena adanya intimidasi yang mengatakan bahwa barang
siapa yang tidak mau mengembalikan tanah dianggap sebagai
elemen komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Masyarakat tidak berdaya mencegah pihak perkebunan melakukan
pentraktoran paksa terhadap tanah-tanah sawah garapan masya-
rakat pada waktu itu.
Dari hasil wawancara di atas juga diketahui penyebab utama
dari penggarapan yang dilakukan masyarakat karena adanya penun-
tutan pengembalian tanah (reclaiming) atas areal yang diambil
secara paksa oleh pihak perkebunan pada tahun 1970. Penuntutan
pengembalian tanah ini disebabkan karena proses ganti rugi yang
belum tuntas. Pihak perkebunan dianggap belum menyelesaikan
ganti rugi secara baik dan memaksa masyarakat menyerahkan
tanahnya untuk dijadikan perkebunan. Ganti rugi yang diberikan
pihak perkebunan dirasakan tidak adil namun masyarakat terpaksa
harus menerimanya karena adanya intimidasi. Namun pihak perke-
bunan sesuai data yang dimiliki mengatakan bahwa pembebasan
tanah sebagaimana dikemukakan para penggarap sudah diselesai-
kan melalui Panitia Landreform Daerah Kabupaten Simalungun
pada tahun 1972 dengan penyelesaian secara musyawarah langsung
dengan masyarakat. Jika pengakuan ini benar adanya, maka ten-
tunya pemberian HGU untuk dan atas nama PTP III Gunung
Pamela (sekarang PTPN III (Persero) Kebun Bangun) sebenarnya
terjadi di atas tanah-tanah yang sesungguhnya bermasalah.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa reklaiming
areal perkebunan dimulai secara nyata mulai tahun 1996. Jika
dikaitkan dengan perencanaan pembangunan Kota Pematangsiantar
dan situasi politik masa Reformasi di Indonesia serta status hukum