Page 69 - Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran Tanah, dan Integrasi Tata Ruang
P. 69
PENGAKUAN HUKUM TERHADAP
PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT ADAT
DI KAWASAN HUTAN KALIMANTAN TENGAH
I Gusti Nyoman Guntur
Arief Syaifullah
Anna Mariana
A. Latar Belakang
Negara dan korporasi memiliki porsi penguasaan tanah yang lebih
dominan dan formal, dibanding dengan porsi penguasaan tanah oleh
1
mayoritas masyarakat di perdesaan. Di sektor kehutanan, luas hutan
yang ditunjuk mencapai 136,4 juta hektar atau 69 persen dari total
luas wilayah Indonesia. Ketimpangan penguasaan atas tanah yang
saling terkait dengan pertentangan hukum dapat menjadi akar utama
konflik sumberdaya agraria. Disatu sisi, masyarakat mempertahan-
kan fakta pengelolaan (tata kelola secara fisik) atas tanah secara
turun temurun dan bersifat informal, sementara perusahaan atau
kehutanan datang dengan sistem aturan formal yang mengklain
mempunyai penguasaan (tata kuasa) atas hutan yang sama. Adanya
perbedaan cara pandang dimaksud, perlu pengakuan yang mengarah
pada kepastian penguasaan yang dianggap resmi atau formal.
Perbedaan cara pandang penguasaan tanah (dan hutan) secara
formal dan yang informal mulanya tidak nampak, namun tiba-tiba
mencuat kepermukaan. HuMa mencatat sampai Tahun 2012 di
Kalimantan Tengah terdapat 67 kasus (254.671 hektar) memendam
masalah klaim atas sumberdaya alam dan agraria, yang 10% klaim di
2
sektor kehutanan. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2007
1 Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria, menyebut sekitar 64,2 juta
hektar (33,7 %) tanah di Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan di
sektor kehutanan, pertambangan gas, mineral dan batubara melalui ijin-ijin
konsesi.
2 Widiyanto, dalam Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM – STPN, No. 37
Tahun 12, April 2013, Yogyakarta, hal. 17.
52