Page 72 - Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran Tanah, dan Integrasi Tata Ruang
P. 72
Pengakuan Hukum terhadap Penguasaan Tanah ... 55
6
TAP MPR No. IX/MPR/2001, UUPA, UU No. 39 Tahun 1999 , maupun
beberapa daerah telah diterbitkan peraturan-peraturan daerah.
Hubungan antara masyarakat adat dengan tanahnya merupakan
pembahasan yang telah ada sejak dahulu, sehingga Pemerintah harus
melakukan identifikasi terhadap tanah-tanah yang secara tradisional
telah dikuasai oleh masyarakat adat dan menjamin perlindungannya
secara efektif. Dalam hukum adat Indonesia, dikenal dua jenis hak
yaitu hak persekutuan (sering disebut hak ulayat) dan hak
7
perorangan atas tanah. Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”. TAP MPR No. IX/MPR/2001 juga mengakui,
menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya
alam. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak
8
ulayatnya juga diatur dalam Pasal 3 UUPA . Menindaklanjuti Pasal 3
UUPA, selanjutnya terbit PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat. Berdasarkan kebijakan tersebut, telah terbit peraturan-
peraturan daerah yang mengatur masalah keberadaan hak ulayat
seperti di Kabupaten Kampar (Provinsi Riau), Provinsi Bali, Provinsi
6 Dalam Pasal 6 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diatur
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak ulayat yang berbunyi sebagai
berikut: (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum masyarakat, dan Pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat
hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman.
7 Van Vollenhoven menamakan hak persekutuan hukum ini “beschikking-
recht”, sedang Djojodigoeno menyebutnya dengan hak purba serta Soepomo
menyebut hak pertuanan.
8 Pasal 3 UUPA menentukan bahwa: “Dengan mengingat ketentuan-
ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh berten-
tangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi”.