Page 392 - Ayah - Andrea Hirata
P. 392

Ayah ~ 379


            ayahnya, disenandungkannya puisi itu pelan-pelan. Ajaib,

            perlahan-lahan awan gelap beranjak ke selatan.
                 Sabari sampai di pelabuhan. Masih pukul 3.00 sore dan
            masih sangat panas. Tegak dia berdiri di samping sepedanya.

            Piala telah dikeluarkan dari dalam tas dan dipegangnya de-
            ngan gagah. Dia telah gagal mempersembahkan piala besar
            juara lomba maraton untuk anaknya, piala kecil itu dianggap-
            nya cukup mewakili perasaannya. Dua medali besar, berkilau-
            an, tergantung di leher. Balon-balon gas yang terikat di setang

            sepeda, berwarna-warni, menyundul-nyundul angin dengan
            lucu. Sabari hanya sendiri, sebab, kalaupun jadi, kapal kayu
            itu baru akan merapat pukul 5.00 sore nanti.

                 Sabari  memandang ke arah semenanjung  karena jika
            ada kapal datang pasti langsung tampak di semenanjung itu.
            Keringatnya bercucuran, bajunya basah, dia tak peduli. Dia
            tak ingin berteduh. Dia akan berdiri menunggu sampai kapal
            itu tiba. Abu Meong juga tetap duduk di boncengan rotan,

            memandang ke semenanjung seakan  tahu tuannya  sedang
            menunggu kapal itu.
                 Satu jam lebih Sabari menunggu. Dia cemas karena truk

            yang biasa datang ke dermaga untuk mengangkut kayu tak
            juga muncul. Dia membujuk diri dengan mengatakan kepa-
            da dirinya sendiri bahwa mungkin kapal itu tidak membawa
            kayu dari Dabo, tetapi akan membawa kayu dari Belitong.
            Sehingga, truk-truk itu tak datang. Walau begitu, dia mulai
   387   388   389   390   391   392   393   394   395   396   397