Page 90 - Ayah - Andrea Hirata
P. 90

Ayah ~ 77


            menghitung, dan suatu ketika, Tuhan akan berhenti meng-

            hitung.
                 Malah Sabari makin rajin belajar. Apalagi, sejak kelas
            Lena bersebelahan dengan kelasnya. Murid-murid lain ngan-
            tuk, Sabari duduk dengan tegak, mirip prajurit mau ditanya
            jatah beras oleh komandan. Telinga lambingnya berdiri, jari-

            nya gesit, tak tahu apa yang dicatatnya. Tanpa diminta, bah-
            kan guru belum begitu selesai mencatat, dan bukan giliran pi-
            ketnya, melihat papan tulis penuh, Sabari serta-merta bangkit
            untuk menghapusnya.
                 Tak ada yang menunjuknya menjadi ketua kelas, dia me-
            nunjuk dirinya sendiri. Tujuannya, agar dia seolah-olah men-
            jadi penting. Kalau dia penting, mungkin Lena akan sedikit
            melirik kepadanya. Sedikit saja, cukuplah.

                 Jika guru bertanya, meski pertanyaan itu bukan untuk-
            nya, tanpa peduli salah atau benar, Sabari langsung menja-
            wab. Jawabannya sangat keras sehingga siswa lain yang se-
            dang tidur terperanjat. Tentu semua itu dimaksudkan agar
            Lena mendengarnya dari  kelas  sebelah. Bangunan sekolah

            kampung yang hanya berdinding papan menyebabkan suara
            tembus antarkelas.
                 Saat itu di kelas Lena sedang pelajaran Bahasa Indone-
            sia. Bu Norma melemparkan pertanyaan.
                 “Kalimat majemuk!” teriak Sabari.
                 “Cerdas!” kata Bu Norma, tanpa menyadari bahwa ja-
            waban berasal dari kelas sebelah yang tengah belajar Biologi.
   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94   95