Page 120 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 120
―Oh, Bu...‖ kau tercekat.
Dari matamu aku tahu, betapa besar bendungan rindu
yang kau tahan. Kau melengos, membuang muka. Itu artinya,
dia memang masih saja menaruh dendam di antara kami. Dan
usahaku agar obrolan kami tidak kaku, ditolak mentahmentah.
Aku mereka-reka. Dan aku mafhum apa yang ia rasakan.
Gejolak rindu yang ia tahan hingga menjadi bendungan tentu
kini sudah jebol dengan degub jantung dan menusuk ulu hati.
Baiklah, Nak. Obrolan kita kali ini memang maha. Dan
biarkan aku saja yang menunggumu untuk angkat bicara.
Sesekali tatapanmu memandang rintik yang kini
bermetamorfose menjadi hujan. Aku tahu, Nak. Kau menyukai
hujan, bukan? ingatkah dulu ketika kau menari di bawahnya
dan pulang dengan kuyup? Lalu aku memarahimu karena rasa
cemas yang tak bisa lagi aku tahankan.
―Bu, aku menyukai hujan seperti aku menyukai kopi. Ia
jujur. Mengalir, dan membasahi siapa saja yang ada
dibawahnya.‖ jawabmu waktu itu dengan manja. Dan lagi-lagi,
kau mampu membuat magi untuk selalu memelukmu, meski
dalam keadaan marah. Kau kedinginan waktu itu, tapi kau
senang bukan kepalang.
Sejak kapan dua cangkir kopi hitam pekat ada di atas
meja? Aku terlalu larut dalam lamunan. Dan mungkin kau juga.
Lalu aku seruput kopi hitam ini dengan menahan getir. Aku
menunggu. Dan tiap detik itu terasa selamanya.
Selamanya mungkin dapat berati seharian penuh menaptapmu
yang sedari tadi membuang muka.
111
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

