Page 124 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 124
―Bukankah cinta dan kasihmu pada kami ini cukup, Bu?
Bukankah kau tak perlu memiliki cinta pada Ayah (lagi), tapi
kau juga masih memiliki kasih untuk kami, kan? Kenapa kalian
harus bercerai, Bu‖ rengek kau sambil menangis memelukku.
Dan itu pelukan terakhir. Dan sesaat itu terasa selamanya.
Selamanya aku ingin memeluk gadis kecilku. Selamanya
mungkin berarti sampai aku mati.
―Maafkan Ibu, Nak.‖ lagi, lagi, dan lagi mungkin
seterusnya aku memang Ibu yang pengecut. Aku tahu gadis
kecilku sedang gelisah. Sama gelisahnya dengan seekor coro
yang melakukan pendaratan darurat kemudian mendapatinya
pada posisi terbalik di pojok kafe. Lalu, seorang pelayan
kafe memukulnya dengan keras dan membuangnya di tong
sampah.
―Baiklah Bu, kenapa Aku harus memaksamu? toh kau
juga keras kepala, kan? semenjak kau memutuskan pergi,
hidup kami menjadi kelabu. Jadi, aku senang bendungan
rinduku bisa ambrol di sini. Terimakasih, telah menjadi
idolaku. Menjadi wanitaku. Kartiniku, kau tercekat dan
langsung bangkit dari tempat dudukmu tanpa menyentuh kopi
yang kau pesan dan benda yang kusodorkan. Kaupun beranjak
pergi, dan tenggelam pada riuh ramai orang-orang yang
berlalu lalang. Aku mengumpat dalam hati. Benda berupa
undangan pernikahanku dengan calon suamiku yang baru ia
tinggalkan begitu saja. Aku benar-benar merasa gagal.
115
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

