Page 128 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 128

Sati tak mau membacakan surat jika tak diberi upah. Tak ada
               uang di dalam amplop surat itu. Surat terakhir dari Tunjung.
               Itu sebabnya Emak tak bisa memberi Sati upah.
                      Setelah  kepergian  Tunjung,  hari-hari  Emak  terasa
               sangat membosankan. Setiap pagi hingga duhur Emak pergi ke
               ladang.  Sisa  waktunya  ia  gunakan  untuk  menyibukkan  diri

               dengan  menganyam  tikar  dari  pelepah  pisang  yang  sudah
               dikeringkan. Namun sesibuk apapun wanita tua itu, ia tak bisa
               menghilangkan Tunjung dari pikirannya walau sebentar. Emak
               tak  habis  pikir  kenapa  anaknya  sampai  berani  menjemput
               ajalnya sendiri.
                      ―Apa  yang  membuatmu  seperti  itu,  Ndung?  Siapa
               yang  telah  menyakitimu?  Apa  kasih  sayang  Emak  padamu
               masih  kurang,  Ndung?‖  Pertanyaan  seperti  itu  selalu  ia

               lontarkan dalam hati saat menganyam tikar. Jika mengingat
               Tunjung, ia teringat pula pada satu sosok lelaki. Bapak dari
               anak satusatunya.
                                                ***


                      ―Mis,  mau  kemana  kau  setelah  ini?  Apa  kau  mau
               njoget lagi di tempat lain?‖ suara laki-laki itu membuat Misni
               celingukan mencari dari mana sumber suara tersebut.
                      ―Hei,  di  mana  kau  Mas  Tarjo?  Kemarilah,  aku  tak
               punya  banyak  waktu  untuk  bertemu  denganmu,  aku  harus
               bergegas  ke  dusun  lain  jadi  tak  usah  menggodaku  bermain
               petak  umpet.‖  matanya  tak  kunjung  menjumpai  sosok  Tarjo




                                                         119

                        Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU
   123   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133