Page 122 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 122
kejahatan,‖ rintihmu. Suaramu terasa jauh dan terisak, Meski
telepon gengam sudah kudekatkan telinga. Sungguh
berhentilah menangis, Kak. Berhentilah menangis anakku. Aku
siap mendengarkan obrolanmu.
Kau mengalihkan wajahmu kembali. Sudah cukup. Jangan
kau gigit bibirmu. Perih. Pun jangan kau benamkan wajahmu.
Apa yang kau bendung? Rindukah? Air matakah?
Bukankah matamu sudah berkaca-kaca?
―Jadi...‖ lagi-lagi aku tersendak.
―Jadi bagaimana, Bu? benarkah kau tetap akan
meninggalkan kami?‖ sungguh pertanyaanmu sangat menohok
ulu hati, sayangku.
Aku mengambil sesuatu dari tas kecilku merahku.
Kusodorkan dan kuletakan di meja tempat kami duduk.
―Bagaimana kabar adikmu, Kak?‖ seharusnya kau sudah
tau duduk permasalahannya kan? Lalu kenapa meski dibahas
seperti ini, Nak.
―Apa ini, Bu?‖ aku sudah menduga. Kau pasti akan
bertanya seolah tak mengerti apa-apa. Tanpa ada niat untuk
memalingkan benda yang kusodorkan, namun tak ayal untuk
menyentuhnya sembari sedikit.
Kau memalingkan mukamu lagi pada rintik-rintik yang
kian melemah. Wajahmu terlihat muram. Kecewa. Aku tahu
kau pasti merasa panas dan marahkan? Meski di bawah
pendingin ruangan dan di luar sedang hujan.
―Aku harus bertemu kau, Bu. Harus. Akankah kau tidak
merasa kasihan melihat kartinimu digerogoti rindu?‖ Aku
113
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

