Page 185 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 185
dalam benakku. Sebelumnya aku membayangkan akan
mengajar di suatu tempat terpencil dan terasing. Dengan
bangunan sekolah yang terbuat dari kayu-kayu keropos yang
siap roboh. Beralaskan tanah dan beratapkan gentinggenting
bocor. Hanya berbekal fasilitas seperangkat papan tulis
berlumut beserta satu dus kecil kapur dan ketika kapur itu
habis harus membeli ketempat yang jaraknya
berkilokilometer melewati hutan rimba dan hadangan buaya
ganas seperti novelnya Bang Andrea Hirata.
Untungnya imaginasi paranoid itu tak menjadi
kenyataan. Faktanya gedung sekolah nampak berdiri gagah.
Meskipun tetap masih terbuat dari kayu, tapi aku tahu ini
kayu yang kokoh dan berkualitas. Bangku-bangku kelas
berjajar rapi di atas ubin berwarna coklat kekuningkuningan.
Atapnya pun juga sudah cukup lumayan untuk ukuran standar
keamananku.
Setelah acara seremoni perkenalan kepada seluruh
warga sekolah, aku langsung ditugaskan kepala sekolah untuk
mengajar kelas 5 melingkupi seluruh bidang studi umum
kecuali pendidikan agama. Ada tujuh guru di sekolah ini
termasuk kepala sekolah. Semuanya berasal dari luar Papua
kecuali Pak Matheius, sang guru agama. Setiap guru
memegangi satu kelas kecuali Pak Matheius yang khusus
mengajar agama untuk semua kelas dan Bu Ratna yang
merangkap mengajar kelas 1 dan 2.
Prolog hidup baruku telah selesai dibacakan. Sekarang
aku berada di ambang inti cerita, satu langkah kakiku mulai
176
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

