Page 184 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 184
tersentuh, belum juga aku menginjakkan kakiku di tanah
asing ini namun perasaan betah sudah membuncah.
Aku langsung disambut jabat tangan Bapak Theodore,
sang kepala desa. Dengan senyum ramahnya, ia menuntunku
masuk desa sekaligus mengajakku merasakan atmosfer
kemeriahan penyambutanku ini.
―Pak Theo, apakah ini tidak berlebihan? Sungguh saya
merasa tersanjung.‖ Protesku sopan.
―Oh, ayolah Dik Guru. Sebuah kehormatan bagi kami
memberikan penyambutan terbaik untuk calon pengajar anak-
anak kami. Tak perlu sungkan.
Semua ini berhak Dik Guru dapatkan,‖ jawab Pak Theo
masih dengan senyumannya. Kemudian dengan sedikit isyarat
darinya, seorang gadis asli papua yang membawa kalung
terbuat dari rangkaian bunga mendekat. ―Silakan.‖
Terimalah persembahan dari kami. Semoga Dik Guru
betah mengajar di sini.‖ Tanpa perlu mengkonfirmasi
persetujuan dariku, Pak Theo langsung saja mengalungkan
rangkaian bunga itu ke leherku.
Aku tersenyum. Bahagia. Hari ini aku langsung
beristirahat di rumah yang sudah disediakan. Esok lusa aku
sudah mulai mengajar di SD Inpres 3. Menjalani hari-hariku
sebagai seorang pendidik.
***
Senyum mentari tersungging anggun menggantung di
bibir langit. Ini hari pertamaku mengajar. Sekolah tempatku
mengajar ternyata tak separah apa yang pernah terlintas
175
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

