Page 179 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 179
―Kaca matamu tuh bukan itu, tapi yang ini, Cantik,‖
Glidig mengambilkan kaca mata yang di meja depannya, ‖itu
kaca mataku,‖ sahutnya dengan tertawa.
―Kenapa Sih mas Glidig selalu kebiasaan menaruh kaca
mata di samping kaca mataku, memangnya tidak ada tempat
lain selain meja ini.‖
―Ini kan bukan meja mu saja,‖ jawab Glidig ketus.
Srinthil tak menanggapi lagi, ‖Aku tahu hatimu cantik. Sekuat
apapun dirimu berupaya melepaskan belenggu yang
mengikatmu selama ini tak akan bisa kecuali kamu
menggunakan kesabaran dan memurnikan arti sebuah niat,‖
sahut Glidig meninggalkan Srinthil. Srinthil tercengang
mendengarkan perkataan Glidig yang serasa berbicara pada
hati kecilnya yang slama ini berjalan dalam ketidakpastian
membimbing.
Aku mengingat waktu itu Srinthil mengirimkan surat
pada Glidig yang jauh dimatanya. Aku juga tidak bisa
memaknai apakah surat itu mengandung rasa cinta antara
Srinthil dengan Glidig. Dengan segala keluh kesahnya, ia
curahkan pada Glidig yang menimba ilmu di Spanyol itulah
tutur katanya. Tapi kata paman Ragil surat-surat yang
dikirim Srinthi tidak pernah sampai pada Glidig karena semua
surat ditahan ayahnya. Masih kata paman Ragil tanpa
diketahui ayahnya Srinthil, Glidig mengirimkan surat kepada
Srinthil. Dengan air mata yang bercucuran aku membaca
surat Glidig untuk Srinthil yang ternyata surat yang selama
ini dikirimkan Srinthil tak sampai. Ternyata benar firasat
170
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

