Page 175 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 175
sembarangan meminta seperti itu,‖ jawab ibunya sambil
mengelus rambut Srinthil.
―Tidak ibu, akulah anaknya yang harus menemui ibunya.
Bukan sebaliknya, itu bentuk dari penghormatan sebagai
seorang anakkan,‖ jawab Srinthil menenangkan ibunya.
Salat Isya telah dilaksanakan bersama-sama.Semua
orang yang menghadiri di pendopo pertemuan agung hanya
diam. Para wanita yang telah memiliki anak menghadiri
pertemuan itu meneteskan air mata. Sungguh menyayat hati
perpisahan malam itu. Imbon yang lengkap memakai baju adat
Jawa duduk di kursi tua sambil meminum teh hangat
bersanding dengan Ngemot. Betapa berat hati Ngemot
melepaskan putri yang dicintainya. Langkah kaki Srinthil yang
begitu berat untuk berpamitan. Tampak wajah-wajah yang
menatap Srinthil membendungkan air mata yang berdesakan
ingin keluar.
‖Putriku yang paling ayu. Putri ibu satu-satunya dan
akan selalu menjadi kebanggaan ibu. Ibu tidak bermaksud hal
yang lain ini semua demi kepentinganmu, Cah Ayu. Kau akan
memahaminya nanti,‖ kata-kata terakhir yang hanya bisa
didengarkan Srinthil sebelum pergi.Srinthil menatap ayahnya
yang masih meminum teh.
Harapan agar ayahnya menahan kepergiannya ternyata
tak terwujud. Dengan mudahnya melepas burung dari sangkar
yang dicintainya. Apakah sekeras itu hati ayahnya tak
menatap wajah teduhnya. Wajah yang selalu ditatap setiap
harinya. Tanpa sepatah katapun, Srinthil pergi tanpa ada
166
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

