Page 86 - Islamic-theology-Ibnul-Jawzi-membongkar-kesesatan-akidah-Tasybih-meluruskan-penyimpangan-dalam-memahami-sifat-sifat-Allah-Nurul-Hikmah-Press-173-Hal
P. 86

78 | Islamic Theology
                                         َ
                                                ّ ُ
                                                          َ ُ ْ ْ
                    با َ ُ    د   ج  ِ  ْ      لا    ٠   ك  ُ    ٞ    ُ   ٨  َ ْ َ ُ  ُ    ُب   ه     ل   ه ،  ْ َ َ    ق   َ   ه   لا    هئ  :ن    ُ   ٣   ى   ىل  َ    ٞ  ؟ه  َ  َ ْ      ج   غ   و  َ   و مل َ ْ ُ  َ
                                                           َ
                                                     َ ّ َ َ ّ َ ُْ
                                      ج   ض ا    ْ َ ُ ّ ً  ِ    ل     ٞ   ُ   س   غ   و   ن     س    ؼ     و   ح    ٖ الله ى   لئ ن  ُ ْ    ٓ   غ   و    ٞ   ىُ
                 [“Sesungguhnya manusia (di akhirat) berkata: “Sungguh
                 kami memiliki Tuhan yang telah kami sembah ketika di
                 dunia”,  dikatakan  kepada  mereka:  “Apakah  kalian
                 mengenal-Nya  jika  kalian  melihat-Nya?”,  mereka
                 berkata:  “Iya”,  lalu  dikatakan:  “Bagaimana  kalian
                 mengenal-Nya  padahal  kalian  tidak  pernah  melihat-
                 Nya?”,  mereka  berkata:  “Sesungguhnya  Dia  tidak
                 memiliki  keserupaan”,  lalu  dibukakanlah  hijab
                 (penghalang) maka mereka melihat kepada Allah, maka
                 mereka semua turun bersujud”].

                  Al-Imâm Ibnu  Aqil  al-Hanbali  berkata:  “Makna  bentuk


           (shûrah) secara  hakekat  adalah  sesuatu  yang  memiliki  kerangka-
           kerangka dan susunan-susunan; dan pastilah merupakan sifat-sifat
           tubuh.  Di  antara  bukti  dalam  ketetapan  kita  bahwa  Allah  bukan
           benda [artinya bukan tubuh yang memiliki susunan-susunan] adalah
           dalil qath„i, yaitu firman-Nya dalam QS. Asy-Syura: 11: “ هلثم٦ ـِل
           ءى ش”.  Lalu  argumen  logis  mengatakan:  seandainya  Allah  sebagai
           benda maka berarti makna “shûrah” dalam teks-teks hadits adalah

           dalam pengertian sifat benda, dan jika sifat-sifat Allah sebagai sifat-
           sifat benda maka berarti boleh terjadi pada-Nya segala sesuatu yang
           terjadi  pada  seluruh  benda  [seperti  berubah,  hancur,  punah,  dan
           lainnya], dan pastilah Dia membutuhkan kepada yang menjadikan-
           Nya  pada  ukuran  bentuk  (shûrah) tersebut.  Lalu  bila  dikatakan

           bahwa  Allah  memiliki  tubuh;  dan  tubuh-Nya  itu  qadîm [tidak

           bermula] maka berarti boleh jadi pula bahwa ada di antara makhluk
                         ; karena sama-sama memiliki tubuh. Dengan demikian
           ini yang qadîm
           kita  harus  mentakwil  makna  “shûrah” yang  dimaksudkan  dalam

           hadits tersebut dan tidak boleh dipahami bahwa Allah sebagai benda.
   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91