Page 160 - Kedua-Orang-Tua-Rasulullah-Penduduk-Surga-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-Nurul-Hikmah-Press-242-Hal-dikompresi-1
P. 160
158 | Membela Kedua Orang Tua Rasulullah
mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Ibnus Shalah dalam
kritiknya tersebut adalah perbuatan yang benar. Oleh karena, -
menurut az-Zarkasyi-, ada banyak hadits yang dianggap palsu
padahal hadits-hadits tersebut berkualitas dla’if sedang saja (dla’if
muhtamal), dan diperbolehkan berpegang dengannya dalam at-
targhib wa at-tarhib. Bahkan dalam karya Ibnul Jawzi tersebut ada
beberapa hadits dengan kualitas sahih, atau beberapa hadits yang
dinyatakan shahih oleh sebagian imam hadits; seperti hadits tentang
shalat tasbih.
Al-Muhibb at-Thabari mengatakan bahwa penilaian Ibnul
Jawzi terhadap hadits tentang shalat tasbih sebagai hadits maudlu’
adalah kesalahan yang nyata, tidak selayaknya ia mengatakan
demikian; oleh karena ada banyak huffazh al-hadits yang telah
meriwayatkan hadits shalat tasbih tersebut dalam kitab-kitab
mereka.
Contoh lainnya, hadits tentang membaca ayat Kursi setiap
selesai shalat yang dinilainya sebagai hadits maudlu’, padahal hadits
tersebut telah diriwayatkan oleh an-Nasa-i dengan sanad-nya yang
telah memenuhi syarat-syarat hadits sahih. Al-Hafizh al-Mizzi
berkata: Penilaian Ibnul Jawzi terhadap hadits ini (tentang membaca
ayat Kursi setiap selesai shalat) sebagai hadits maudlu’ dan
memasukannya dalam kitab al-Maudlu’at adalah penilaian yang
salah. Penilaian seperti ini banyak ia lakukan dalam kitabnya
252
tersebut .
Sesungguhnya penilaian para huffazh al-hadits terhadap
sebuah hadits dengan ungkapan; “Ini hadits tidak sahih (lam
yashihh)” dan ungkapan “Ini hadits maudlu’” memiliki perbedaan
yang sangat jauh. Ungkapan “ini hadits maudlu’”; artinya
menetapkan adanya kedustaan di dalamnya dan bahwa hadits itu
dibuat-buat (al-kadzib wa al-ikhtilaq). Sementara ungkapan “ini
hadits tidak sahih (lam yashihh)”; bukan untuk menetapkan bahwa
hadits itu tidak ada (itsbat al-‘adam), tetapi itu hanya untuk
memberitakan bahwa hadits tersebut tidak ditetapkan kesahihannya
252 Nasyr al-Alamain, as-Suyuythi, h. 15. Lihat pula penjelasan as-Suyuthi
dalam Tadrib ar-Rawi Syarh Taqrib an-Nawawi, 1/151