Page 90 - 2B
P. 90

2B


                    “Kapan  sekolah  menelpon?”  Pertanyaan  itulah  yang
            kemudian terlontar. Aku tak tahu mengapa aku begitu yakin dengan
            firasatku.
                    Ayah  menghembuskan  nafas.  Aku  memberontak,  “Kapan
            Ayah?”  benar-benar  kutuntut  ayah  memberi  penjelasan.  Tidak,
            sebenarnya aku lebih  ingin ayah diam. Tak usah menjelaskan apa

            pun. Atau jika ayah ingin berkata, katakanlah kata selamat untukku.
            Selamat telah lulus ujian nasional.
                    “Baru saja Kak!”
                     Adikku Elsa menyahut. Kulihat wajahnya yang juga dipenuhi
            rasa  ragu.  Seakan  mendengar  petir  berlalu.  Tubuhku  lemas
            menerima kenyataan. Tak perlu diperjelas lagi. Hatiku sudah teramat
            yakin akan kata-kata itu. Aku tak perlu ke sekolah hari ini. Tak perlu.

                    Elsa perlahan menghampiriku. Kupandang ia dengan wajah
            semakin berkaca. Ingin sekali aku kembali bertanya, Itu tidak benar,
            kan? Tapi aku terlanjur terpaku, mematung dan membisu. Tak tahu
            harus berkata apa.
                    “Ayah..,”  aku  menatap  ayah  dengan  wajah  mengiba.
            “Ayah..,”  dan  tangisku  pun  pecah.  Ayah  hanya  menghembuskan

            nafas  berat.  Setelahnya,  tiba-tiba  rumahku  menjadi  kacau  dengan
            tangisku  dan  keterkejutan  ibu,  juga  kebingungan  Elsa  yang
            membuatnya ikut meneteskan air mata.
                    Cukup. Itulah awal semua ini, hingga ku berlari  ke kamar.
            Mengunci diri. Menangis sepuas ingin.





                                         Maulida Azizah & Ummu Rahayu  89
   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94   95