Page 104 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 104
memaksa sang pahlawan kemanusiaan, Tarman Blawong,
bersedia untuk menguburkannya jenazah yang tak berdaya
itu dengan penuh kemanusiaan.
“Kubur, kubur, kubur!” teriak mereka.
“Gali! Gali! Gali!” kata mereka seperti koor bersahut-
sahutan.
Dada pria itu bergetar karena amarah. Dengan sumpah
serapah, digalinya tanah bebatuan itu, dan terus mengali.
Cangkulnya berdenting sambil punggungnya memanggul
mayat. Terus dan terus menggali. Orang-orang yang menon-
tonnya bersorak-sorai. Mereka bertepuk tangan. Kemudian,
terdengar pidato Bupati. Para pejabat lainnya juga ikutan
berpidato. Panggung kecil di dekat lubang pusara tiba-tiba
jadi arena lomba pidato, mereka banyak yang membawa
teks bergulung-gulung. Mereka seperti berkompetisi mem-
berikan apresiasi dihadapan wartawan. Isinya semua sama,
mereka lega atas pengorbanan Tarman yang luar biasa,
akhirnya mau memakamkan orang yang dibencinya, demi
rasa kemanusiaan. Pemakaman itu rupanya disiarkan secara
live di berbagai media televisi dan youtube channel. Tarman
tak peduli. Manusia penggali kubur terakhir itu, masih
sibuk menggali dan terus menggali. Saat malam tiba pun ia
tampak terus saja menggali. Orang-orang berteriak di bibir
lubang agar ia berhenti. Ia hanya mendengar sayup-sayup,
dan terus saja masih menggali, menggali, dan menggali.
Sampai esoknya saat matahari terbit, ia pun masih menggali
terus, menggali semakin dalam dan semakin jauh. Mungkin
telah satu minggu berlalu. Tarman masih saja menggali.
86

