Page 100 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 100

menjelang pilihan lurah, pilkada, atau pemilu. Saat pamit
           Simak, perempuan tua itu hanya menatapnya kosong. Urat
           wajahnya beku. Sungguh sebenarnya ia pasti kecewa. Ia
           menyekolahkan tinggi anaknya untuk jadi priyayi, bukan
           lagi jadi tukang gali.
               “Aku memang harus keluar Blawong. Aku hanya tak
           mau Blawong menjadi cemar, Mak. Blawong itu merek
           dagang penggali sumur, seperti Bapak, yang sangat mulia.
           Bukan penggali kubur seperti saya. Mungkin ini memang
           takdir, mungkin juga kutukan yang harus saya lakoni,” ka-
           tanya. Tarman ingin orang-orang memanggilnya Tarman
           saja. Atau Tarman Kubur. Atau Tarman bin Arjo. Malang-
           nya, sampai sekarang semua orang pun tetap memanggilnya
           Tarman Blawong.
               Malam itu bulan tampak tua berwarna tembaga. Sejak
           senja, Tarman merasakan ada yang aneh. Ia tak merasakan
           tiupan angin berembus. Tak juga terdengar suara orong-
           orong, jengkerik, cicak, atau semacamnya. Begitu sunyi
           seperti desa mati. Bahkan ia tak bisa merasakan embusan
           napasnya sendiri. Namun, saat tidur, ia terjaga tengah malam
           oleh suara yang tak biasa. Dentuman ribuan kali menggema
           dari arah kuburan. Bersahut-sahutan ramai seperti karnaval.
           Terus berdentum bahkan menggelegar dari dalam bumi.
           Seolah ada kesibukan luar biasa semacam hajatan atau pesta
           yang riuh, jauh dalam tanah kuburan.
               Orang-orang desa sempat keluar rumah dan berbon-
           dong-bondong mencari sumber suara. Mereka bergerom-
           bol dan berdengung, ingin memastikan apa yang terjadi.


                                  82
   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105