Page 102 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 102

“Aku mungkin bakal kaya seperti mimpiku, Mak. Anak-
           mu yang proletar ini calon wong sugih,” bisik Tarman dalam
           hati.
                Tapi aneh, Mbah Marjo tak lagi terkekeh gembira. Tak
           ada mata tua yang berbinar-binar saat mengabarkan ke-
           matian demi kematian itu pada Tarman seperti biasanya.
           Dia hanya irit bicara saat menyerahkan segepok uang dan
           puluhan baju seragam plastik berwarna biru tua, katanya
           itu harus dikenakan Tarman dan teman-temannya saat
           bertugas. Hari ini 7 jenazah, besok 16, lusa 22, 18, 12, 30
           dan angka itu naik tanpa bisa terkendali dan berhenti. Pagi,
           siang, sore mereka terus menggali seperti robot. Jenazah,
           uang, menggali. Jenazah, uang, menggali, jenazah, uang,
           menggali. Hingga sembilan bulan tak berhenti. Puluhan
           teman-temannya akhirnya satu persatu tumbang, dika-
           barkan oleh koran-koran, mereka mati kelelahan. Koran
           memang kejam. Mereka memuatnya lengkap dengan foto
           berbagai pose saat para penggali itu mati mengenaskan. Ke-
           matian rupanya sekarang memang bukan lagi suatu kejutan
           yang menyedihkan. Karena kematian kini hanyalah angka,
           sudah biasa. Tarmanlah yang satu persatu akhirnya kubur-
           kan teman-temannya sendiri. Ia mandikan, ia sholatkan,
           ia azani, ia angkat, lalu kuburkan dengan tangannya yang
           kerempeng dan tak berotot itu. Ia lakukan semua juga tanpa
           perasaan apa pun.
               “Saya hanya merasa aneh sekali. Perasaan saya hilang,
           saya tidak punya lagi rasa iba, sedih, gembira, takut, dan lain-
           nya,” begitu kata Tarman datar pada wartawan TV nasional


                                  84
   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106   107