Page 99 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 99
rindu aroma harum tanah basah. Rindu suara logam
merdu cangkul berdenting menghunjam bebatuan. Kuburan
selalu hadir dalam mimpinya setiap hari. Mendiang bapak-
nya, Arjo Blawong, selalu hadir menggali dan melempar
mukanya dengan tanah, sambil tertawa, dalam bunga ti-
durnya. Kadang, sosok Ayah Asti, secara kurang ajar juga
ikut-ikutan datang dan meneguhkan bahwa ia berdarah
Blawong, yang sudah pasti ahli menggali, begitu katanya
sambil tertawa dan terus mengejek. Tentu saja pria keparat
itu hanya muncul dalam alam tidurnya. Dasar kecoak
bunting! Umpatnya meniru Warkop. Tapi, yang paling edan,
terakhir, ia juga mimpi bertemu dengan Karl Marx. Pria
bule tambun berjenggot lebat itu mengatakan kepadanya,
bahwa suatu suatu hari ia bakalan kaya dengan menggali.
Ini jelas gendheng.
“Apakah dengan menggali aku akan bisa keluar dari
kasta proletar, jadi kaya dan terkenal?” tanya Tarman pada
lelaki kulit putih itu. Konon, dalam mimpinya itu, Marx
kelihatan gugup, tampak mehong, dan tak menjawab sepatah
kata pun. Ia hanya melengos dan berlalu pergi. Ternyata to-
koh komunis itu pun juga tak pandai-pandai amat, batinnya
dalam mimpi.
Maka, dengan hati teguh, belasan tahun lalu, ia pun
bertekad berangkat nyantrik pada Mbah Marjo. Juru kunci
sekaligus dukun kondang, kira-kira 30 km dari desanya.
Konon, kerja sambilan Mbah Marjo sebagai dukun itulah
yang membuat anak-anaknya mempunyai rumah dan mo-
bil mewah. Rumah dekat area pemakaman itu sangat riuh
81

