Page 95 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 95
menggali kubur. Benar saja, tak lama Mbah Marjo, sang
juru kunci pun tergopoh-gopoh menghampirinya. Lelaki
tua itu biasanya memberikan petunjuk calon pusara, dan
menyelipkan amplop di saku Tarman.
“Nganu Le, kedhuk sisih wetan wit asem, iki sing kondur
jenenge Bambang, anake Den Kasno, pegawai kecamatan
kulon kali kae. Jare iki anakke mbok enom. Over dosis obat
genderuwo,” kata lelaki tua itu terkekeh pada Tarman. Lalu,
wes-ewes-ewes, urusan perut hari itu pun akan selesai dengan
mudah. Ada yang berduka, ada pula yang bahagia. Semua
wis pepestening Pengeran. Jika tak ada suara dentuman da-
ri kuburan berhari-hari, itu artinya Tarman dan teman-
temannya bakal menghadapi paceklik. Jika tak ada kematian,
kendhil bisa terancam ngguling. Saat orang-orang bahagia
karena panjang usia, itu duka untuknya. Kalau ada orang
mati, Tarman akan tertawa, begitu bisik-bisik tetangga.
Baginya, menggali adalah kutukan sekaligus jalan
hidupnya. Dulu, setelah lulus kuliah dari universitas terna-
ma, Tarman berniat melamar kekasihnya, Asih, gadis priyayi
semanis Sembadra. Di dalam rumah Joglo yang luas itu, ayah
Asih, pejabat kabupaten yang juragan sapi itu, menemui
Tarman. Matanya menyipit. “Jadi, Sampeyan dari Blawong
tho Le?” Nada suaranya sinis, terasa ngenyek dan membuat
dadanya terasa sesak.
“Ayahmu pasti penggali sumur, ya, tho. Orang Blawong
kan ahli menggali. Bisa kutebak, kalau kau tidak berkarir
menggali sumur, mungkin kau hanya berakhir mentok
penggali kubur.” Lalu tawanya pecah meledak, terbahak-
77

