Page 96 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 96

bahak. “Jangan tersinggung, Le. Aku mung guyon!” sambil
           menepuk keras bahu Tarman yang tengah menenggak teh
           hingga tersedak dan muncrat. Tiba-tiba dadanya bergemuruh.
           Hatinya muntab, tapi lidahnya kelu. Tak sepadan dengan
           jabatannya sebagai korlap demonstran zaman Soeharto,
           tahun 1980/1990-an dulu, yang petentang-petenteng nyang-
           klong megaphone dan lantang bicara. Sungguh, ia merasa
           hanya seperti kambing congek, pecundang lembek seperti
           tai kucing. Seluruh keberaniannya tiba-tiba lolos dari
           tulang-tulangnya saat menghadapi ayah Asih. Tidak ada
           sisa kegarangan dan kegalakan sama sekali. Bibirnya rapat
           seperti terlakban. Ia melirik Asih. Perempuan malaikatnya
           hanya tertunduk di pojokan. Lalu, priyayi setengah baya itu
           berceloteh tentang perjuangan masa remajanya yang hebat.
           Tapi tak lagi masuk ke telinga Tarman. Telinganya hanya
           berdengung-dengung sepanjang malam sehabis bertamu.
           “Mungkin kau hanya berakhir mentok tukang penggali
           kubur”, begitu terus kalimat itu berputar di kepalanya. Saat
           itu, seperti tentara pangkat kopral tak lolos uji, ia hanya
           mampu menggeloyor pergi tanpa pamit dari pendapa
           dengan badan bergetar karena malu dan terhina.
               “Apa yang salah dengan Blawong? Bapakku, Arjo Bla-
           wong, memang tukang gali sumur. Semua tetangganya
           di desa juga. Pekerjaan mereka sangat mulia. Merekalah
           yang menyediakan air kehidupan di desa, luar desa, dan
           banyak kota,” kata Tarman penuh kekesalan pada Asih,
           di sebuah senja yang muram. “Coba pikir, keluarga dan
           bapakmu kalau cebok setelah berak, pakai apa? Air sumur


                                  78
   91   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101